SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dewan Pimpinan Wilayah Sumatera Utara.

BAGI DPD APKASINDO SE SUMATERA UTARA

Data Contact Person DPD APKASINDO Se Sumatera Utara Sudah Dapat di Lihat Pada Tab Database >> Data DPD APKASINDO.

www.apkasindo.blogspot.com

Segera Hadir Blog DPP APKASINDO.

BAGI DPD APKASINDO SE SUMATERA UTARA

Data Contact Person DPD APKASINDO Se Sumatera Utara Sudah Dapat di Lihat Pada Tab Database >> Data DPD APKASINDO.

BAGI DPD APKASINDO SE SUMATERA UTARA

Data Contact Person DPD APKASINDO Se Sumatera Utara Sudah Dapat di Lihat Pada Tab Database >> Data DPD APKASINDO.

Sabtu, 03 Desember 2011

Sertifikasi Baru Sawit Diharap tak Muncul Lagi

INILAH.COM, Nusa Dua - Product Board MVO, Frans Classen berharap ke depan seharusnya implementasi sertifikasi lestari harus dibatasi.

"Karena munculnya sertifikasi baru malah akan membuat pelaku perkebunan menjadi bingung di samping bakal meningkatkan biaya produksi," ujarnya di sela acara konferensi internasional kelapa sawit ke-7 (Indonesian Palm Oil Conference/IPOC & 2012 Price Outlook) bertema "Sustainable Palm Oil: Driver of Change" di Nusa Dua Bali, Jumat (2/12).

Maka dari itu, tutur Frans, munculnya ISPO dan MSPO dan sertifikasi lainnya sedianya tidak diikuti oleh sertifikasi baru. Menurut dia, sertifikasi RSPO merupakan model sertifikasi yang sudah terbukti dan diakui pihak konsumen di Eropa. “Jangan ada model sertifikasi sustainable baru lagi,” katanya.

Senin, 28 November 2011

Bea Keluar CPO Turun Jadi 15%

MedanBisnis –Jakarta. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menetapkan Bea keluar (BK) atau pajak ekspor produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk November 2011 sebesar 15%. Bea keluar ini telah mengalami penurunan dibandingkan dengan BK CPO di Oktober yang mencapai 16,5%.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh mengatakan harga referensi CPO  untuk November sebesar US$. 1.009,51 per metrik ton atau turun dibanding harga referensi CPO di Oktober sebesar US$. 1.072,63 per metrik ton."Dengan demikian tarif Bea Keluar (BK) untuk November 2011, turun dari 16,5% menjadi 15%," katanya di Jakarta, Jumat (21/10).

Sementara itu, Deddy juga mengatakan harga referensi biji kakao untuk November 2011 adalah US$ 2.649,83 per metrik ton turun dari harga di Oktober 2011 yang sempat mencapai US$ 2.979 per metrik ton. Harga Patokan Ekspor (HPE) biji kakao untuk November 2011 U$ 2.359 per ton."Dengan demikian tarif BK biji kakao untuk bulan November 2011 adalah 5% atau turun dari tarif bea keluar bulan Oktober sebesar 10%," katanya.

Jumat, 18 November 2011

Apkasindo Bantu Petani Dapatkan Sertifikasi Lahan

MedanBisnis – Medan. Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) akan melakukan kerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Direktorat Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) untuk membantu petani mendapatkan sertifikasi lahan.
Ketua Umum Apkasindo, Anizar Simanjuntak, mengatakan, program sertifikasi lahan kepada petani ini akan dilakukan secepatnya dalam tahun 2011, di mana pilot project pertama di Kabupaten Labuhan Batu. "Program ini bertujuan membantu petani mendapatkan kemudahan sertifikasi lahan. Karena jika 50% saja petani sudah mendapatkan sertifikasi, maka petani kita sudah bisa berhasil mengembangkan perkebunan kelapa sawitnya," ujar Anizar kepada wartawan, Rabu (14/9).

Dikatakannya, rencana program ini memiliki target luas lahan 2.500 hektare dan pada Oktober nanti akan diadakan pertemuan dengan kedua instansi terkait yakni BPN dan Dirjenbun agar pelaksanaannya dapat segera direalisasikan.

Sertifikasi lahan ini, jelas Anizar, sangat membantu petani dalam mengembangkan tanaman perkebunan kelapa sawit yakni untuk mendapat pinjaman uang dari perbankan atau ikut mensukseskan program pemerintah revitalisasi perkebunan (Revbun).

"Kita ketahui program Revbun belum berhasil karena masih terkendala dengan sertifikasi lahan. Jadi dengan program ini kita harap dapat membantu petani mendapatkan pinjaman dari perbankan," ucapnya.

Bentuk kerjasama program ini nantinya akan dibahas dalam pertemuan yang dilakukan pada Oktober, karena saat ini masih kerjasama secara tulisan. "Bentuk dan kerjasama selanjutnya akan dibahas pada Oktober. Pastinya semua demi membantu petani mendapatkan kemudahan mengurus sertifikasi lahan," imbuhnya.

Selama ini, revbun tidak membawa keuntungan kepada petani karena persyaratan yang sangat sulit dipenuhi petani, seperti tersedianya surat kepemilikan lahan sebagai agunan dari pihak perbankan dalam mengucurkan dana pinjaman revbun tersebut.

"Selama persyaratan itu tidak dirubah oleh pemerintah, revbun kita yakini tidak akan berjalan. Kita akui petani banyak belum memiliki sertifikasi lahan apalagi yang memiliki perkebunan di bawah satu hektare," jelasnya.

Menurutnya, pemerintah masih kurang mendukung dalam perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia termasuk juga Sumut. Dengan pemberlakuan Bea Keluar (BK) yang besar dan tidak pernah dikembalikan lagi ke daerah itu sudah sangat memberatkan petani. "Penerapan BK ini memberatkan petani, karena harga jual Tandan Buah Segar (TBS) nya menjadi rendah," katanya.

Untuk itu, Apkasindo siap mendukung kepala daerah se Indonesia menuntut dikembalikannya dana BK kepada daerah guna mendukung perkebunan kelapa sawit khusus dalam pembangunan industri dan infrastrukturnya.

"Kita siap mendukung, asal semua kepala daerah se Indonesia setuju untuk menuntut dana BK itu dikembalikan ke daerah asal meski setengahnya saja demi pembangunan produktivitas hulu dan hilir perkebunan kelapa sawit," tuturnya. (yuni naibaho)

Minggu, 30 Oktober 2011

Forum Diskusi Pemangku Kepentingan Sektor Industri Unggulan dan Infrastruktur Daerah Terkait Kelapa Sawit

Menindaklanjuti kegiatan Kajian yang tengah dilakukan oleh Kantor Perwakilan Daerah Medan tentang Sektor Industri dan Infrastruktur Daerah Terkait Kelapa Sawit di wilayah Kerja KPD Medan, maka KPD Medan melaksanakan kegiatan Forum Diskusi mempertemukan para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk membahas secara bersama-sama serta mencari solusi terkait dengan Sektor Unggulan dan Infrastruktur Daerah Terkait Kelapa Sawit khususnya mengenai penetapan harga TBS (Tandan Buah Segar). Kegiatan tersebut diselenggarakan pada Tgl 06 Oktober 2011 bertempat di Diamond Ballroom Grand SwissBell-Hotel Medan.
Dalam kegiatan tersebut hadir sebagai narasumber Bpk. DR.Ir.Benny Pasaribu,M.Ec (Komisioner KPPU RI) yang sekaligus membuka acara forum diskusi, Bpk. Gopprera Panggabean (Kepala KPD Medan) yang memberikan presentasi mengenai Tugas dan wewenang KPPU serta bagaimana regulasi dalam industri sawit, Bpk. Asmar Arsjad selaku Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Propinsi Sumatera Utara memberikan presentasi tentang kebijakan penetapan harga TBS Kelapa Sawit sesuai Permentan No 17 Tahun 2010, Bpk. Balaman Tarigan selaku Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Inonesia (GAPKI) Propinsi Sumatera Utara. Hadir juga para peserta untuk mengikuti kegiatan diskusi perwakilan dari APKASINDO, perwakilan dari GAPKI, Perwakilan dari Pemerintah, perwakilan dari kalangan akademisi, serta media yang ada di Medan.
Kegiatan diskusi tersebut direspon dengan baik oleh para peserta yang hadir . Pada kesempatan tersebut Bpk. Asmar Arsyad mengatakan bahwa Permentan No 17 Tahun 2010 hanya berlaku untuk petani plasma dan dalam hal penetapan harga sawit, petani kelapa sawit masih sangat dirugikan, dikarenakan dari segi regulasinya sendiri masih belum berpihak kepada petani kelapa sawit dengan adanya “Faktor K” yaitu kompensasi yang harusnya memberikan keuntungan bagi petani sawit, tapi malah merugikan petani sawit, dikalangan petani sawit harga TBS variatif yang artinya berbeda-beda disetiap daerah, untuk periode bulan Oktober 2011 sendiri harga sawit sangat rendah dirata-ratakan sekitar Rp.1250/Kg. Bpk Balaman Tarigan menanggapi bahwa mengenai penetapan harga sawit yang tidak berpihak kepada masyarakat, merupakan akibat dari regulasi, GAPKI sendiri selalu berusaha untuk memajukan industri kelapa sawit khususnya diwilayah Sumatera Utara. Dari kegiatan diskusi tersebut disimpulkan bahwa Pemerintah termasuk KPPU, GAPKI, APKASINDO, merupakan mitra yang harus bersama-sama saling membangun industri kelapa sawit di Indonesia khususnya daerah Sumatera Utara.

Kamis, 14 Juli 2011

Dishutbun Hentikan Operasional PKS Mini Tanpa Izin

 Langkat (ANTARA) - Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara menghentikan operasional pabrik kelapa sawit mini tanpa izin, yang berada di dusun Bukit Rejo Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang.
"Kita menghentikan operasional pabrik kelapa sawit mini kapasitas lima ton per jam itu," kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, Supandi Tarigan di Stabat, Kamis.
Penghentian operasional pabrik kelapa sawit PT CCMO, selain tidak mempunyai izin juga adanya laporan dari masyarakat di sekitar pabrik, yang keberatan dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), katanya.
Selain itu izin lain juga belum dimiliki oleh perusahaan pengolahan sawit tersebut, seperti Izin Usaha Perkebunan Pengolahan (IUP-P).
Berdasarkan undang-undang nomor 18/2004 tentang perkebunan dan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007, tentang pedoman perizinan usaha perkebunan dan peraturan lain yang berlaku, katanya.
Karena itulah pabrik kelapa sawit mini ini yang sudah didirikan sejak 2009 itu harus menghentikan operasional-nya dan segera melengkapi segala surat izin yang dibutukan untuk pengoperasian sebuah pabrik kelapa sawit.
Supandi menjelaskan, tegoran untuk menghentikan operasional PKS mini tersebut juga sudah dilayangkan nomor: 525-1122/HUTBUN-III/2011, tertanggal 10 Mei 2011, kepada pimpinan PT CCMO.
Dalam kaitan penghentian tersebut, pihaknya meminta agar Kepala Wilayah Kecamatan Padang Tualang, dan Kepala desa dapat melaporkan bila terjadi aktivitas di lapangan.
Sementara itu Kepala Badan Lingkungan Hidup Herminta Sembiring yang dihubungi secara terpisah menjelaskan, karena belum lengkapnya izin pabrik kelapa sawit tersebut, maka pembahasan UKL/UPLnya belum dilaksanakan.
"Pembahasan tersebut masih menunggu rekomendasi izin yang ada dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Langkat," katanya.
Kepala Wilayah kecamatan Padang Tualang, Yafizam Parinduri yang dihubungi menjelaskan, hingga sekarang ini sejak penghentian operasional pabrik tersebut, belum lagi ada kegiatan di lapangan.
Mereka benar-benar menghentikan operasional pabrik tersebut, katanya.

Jumat, 01 Juli 2011

Petani Akan Terus Berjuang Hentikan BK CPO

Jakarta (ANTARA) - Petani kelapa sawit yang tergabung Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sumatra Utara berjanj untuk terus berjuang agar pemerintah tidak memberlakukan bea keluar minyak sawit mentah (BK CPO).
"Kami akan terus memperjuangkan aspirasi hingga pemerintah menghapuskan BK CPO progresif," kata Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW Apkasindo) Sumatera Utara H.A. Rinto Guntari saat dihubungi, Minggu.
Saat ini kalangan petani kelapa sawit di berbagai daerah merasa gelisah dan kesal atas sikap pemerintah yang tetap memberlakukan kebijakan bea keluar (BK) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang bersifat progresif.
"Para anggota kami sudah sangat kesal karena pemerintah tampaknya sama sekali tidak mendengarkan dan memperdulikan keberatan jutaaan petani kelapa sawit terhadap BK CPO yang progresif," ujar dia.
Rinto menyatakan hal tersebut menanggapi keputusan pemerintah yang kembali menaikkan tarif BK CPO untuk periode bulan Juli menjadi 20 persen.
Sebagaimana telah diberitakan beberapa hari lalu, pemerintah menaikkan kembali BK CPO menyusul naiknya rata-rata harga patokan ekspor CPO.
Tarif BK tersebut naik dibandingkan tarif periode bulan Juni yang dipatok sebesar 17,5 persen. Kenaikan itu sebagai buntut dari naiknya harga rata-rata patokan ekspor CPO dari rata-rata 1.100 dolar AS per metrik ton pada bulan Mei 2011, menjadi 1.200 dolar AS per metrik ton pada bulan Juni 2011.
Menurut Rinto, para petani kelapa sawit sudah cukup lama tertekan oleh kebijakan yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil itu.
Pasalnya, sejak BK CPO diterapkan secara progresif pada 2007 lalu hingga saat ini, petani sama sekali tidak merasakan manfaatnya.
"Justru sebaliknya, kami terus menerus dirugikan. Karena dengan naiknya BK CPO, harga tandan buah segar (TBS) sawit semakin tertekan. Ketika tarif BK CPO masih 17,5 persen harga TBS di tingkat petani turun hingga Rp500 per kg TBS.
Sedangkan dengan BK CPO naik menjadi 20 persen maka harga TBS di tingkat petani semakin turun hingga Rp800 per kg TBS," jelas Rinto.
Kerugian yang telah diderita para petani sejak lebih dari tiga tahun lalu dan terus berlangsung hingga sekarang itulah,, memicu kegelisahan dan kekesalan para petani sawit di berbagai daerah, kata Rinto..
"Kami merasa dibohongi dan dipermainkan oleh pemerintah pusat. Katanya, dana yang terkumpul dari BK CPO ini nantinya akan dikembalikan lagi kepada para petani dalam bentuk pembagian bibit murah, pupuk murah bersubsidi, perbaikan sarana infrastruktur, dan sebagainya. Nyatanya, itu semua hanya janji-janji palsu dan omong kosong belaka," kata Sekretaris Umum DPW Apkasindo Sumatera Utara Gus Dalhari Harahap.
Kegelisahan serta kekesalan anggota Apkasindo terhadap kebijakan BK CPO yang progresif itu, menurut Gus Dalhari akan menjadi salah satu agenda dalam seminar nasional kelapa sawit maupun rapat kerja DPW Apkasindo Sumatera Utara yang berlangsung akan pada hari Senin - Selasa ini (27- 28 Juni).
Pernyataan Gus Dalhari itu dibenarkan oleh Ketua DPW Apkasindo Kalimantan Timur Bambang Sarjito, yang menegaskan, pemerintah pusat seharusnya lebih berpihak kepada para petani kelapa sawit.
Sebab perkebunan kelapa sawit rakyat adalah yang paling luas, yaitu 48 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
"Jadi seluruh petani kelapa sawit yang berjumlah 2,5 juta orang dengan total luas lahannya lebih dari 3,8 juta hektar itulah yang harus menanggung kerugian dari kebijakan BK yang progresif. Karena itulah, kebijakan itu tidak berpihak kepada kepentingan petani," kata Bambang Sarjito menjelaskan..
Karena itulah, pihaknya sepakat dengan DPW Apkasindo Sumatera Utara maupun daerah-daerah lain yang akan memperjuangkan kepentingan petani tersebut secara langsung kepada pemerintah pusat.
Menurut Bambang, pihaknya juga mendukung DPP Apkasindo yang memperjuangkan agar dana BK CPO yang telah disedot pemerintah pusat selama ini bisa segera dikembalikan kepada para petani dalam bentuk program replanting, penyediaan bibit murah, pendidikan petani, dan sertifikasi lahan sawit.

Petani Sawit Tercekik BK CPO

Demo Tuntut Penghapusan
JAKARTA-Kalangan petani kelapa sawit di berbagai daerah merasa gelisah dan kesal atas sikap pemerintah yang tetap memberlakukan kebijakan bea keluar (BK) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang bersifat progresif. Karenanya, mereka mendesak agar pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan segera menghapuskan BK CPO progresif tersebut.
"Para anggota kami sudah sangat kesal karena pemerintah tampaknya sama sekali ndak mendengarkan dan memperdulikan keberatan jutaaan petani kelapa sawitterhadap BK CPO yang progresif," ujar Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW Apkasindo) Sumatera Utara KA. Rinto Guntari di sela-sela rangkaian aksi unjukrasa di kompleks parlemen, kantor Kementerian Keuangaa Kementerian Perdagangan dan berakhir di Kementerian Koordinator Perekonomian, lakarta Kamis (30/6), kemarin.
Aksi para petani kelapa sawit yang tergabung dalam Apkasindo tersebut sebagai reaksi atas keputusan pemerintah yang tak kunjung menghapuskan BK CPO. Bahkan, pemerintah kembali menaikkan tarif BK CPO untuk periode Juli menjadi 20 persea
Seperti yang telah diberitakan, pemerintah menaikkan kembali
BK CPO menyusul naiknya rata-rata harga patokan ekspor CPO. Tarif BK tersebut naik dibandingkan tarif periode (uni yang dipatok sebesar 175 persea Kenaikan itu sebagai buntut dari naiknya harga rata-rata patokan ekspor CPO dari rata-rata USD 1.100 per metrik ton pada bulan Mei 2011, menjadi USD 1200 permetriktonpadajuni2011. Menurut Rinto, para petani kelapa sawit sudah cukup lama tertekan oleh kebijakan yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil itu. Pasalnya, sejak BK CPO diterapkan secara progresif pada 2007 lalu hingga saat ini, petani sama sekali tidak merasakan manfaatnya "Justru sebaliknya, kami terus menerus dirugikan. Karena dengan naiknya BK CPO, harga tan-dan buah segar (TBS) sawit semakin tertekan. Ketika tarif BK CPO masih 17,5 persen harga TBS di tingkat petani turun hingga Rp 500 per kg TBS. Sedangkan dengan BK CPO naik menjadi 20 persen, maka harga TBS di tingkat petani semakin turun hingga Rp 800 per kg TBS," jelas Rinto.
Kerugian yang telah diderita para petani sejak lebih d;in tiga tahun lalu dan terus berlangsung hingga sekarang itulah memicu kegelisahan dan kekesalan para petani sawit di berbagai daerah. Kami merasa dibohongi dan dipermainkan oleh pemerintah pusat. Katanya, dana yang terkumpul dari BK CPO ini nantinya akan dikembalikan lagi kepada para petani dalam bentuk pembagian bibit murah, pupukmurah bersubsidi, perbaikan sarana infrastruktur, dan sebagainya Nyatanya, itu semua hanya janji-janji palsu dan omong kosong belaka," tegas Ketua DPW Apkasindo Kalimantan Timur Bambang Sarjito.
Dalam aksi yang diikuti oleh ra tusan perwakilan petani kelapa sawit dari Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi itu, Sekjen Apkasindo Asmar Arsjad menegaskan, kegelisahan dan kekesalan para petani di berbagai daerah itu mencerminkan bahwa kepercayaan para petani sawit terhadap pemerintah pusat sudah semakin lui iii ir "Para petani merasakaa saat ini seolah-olah tidak ada pemerintah pusat karena mereka tidak merasakan keberpihakan pemerintah pusat dan memperoleh realisasi janji-janji selama ini." katanya (aro)

Apkasindo Ancam Gelar Parlemen Jalanan - Sumut Terus Perjuangkan Dana Bagi Hasil Perkebunan

Sumatera Utara terus memperjuangan Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan, khususnya kelapa sawit. Apalagi lebih dari 20 tahun belum ada realisasinya dari pemerintah pusat.

Hal tersebut terungkap da­lam seminar “Perimbangan Ke­uangan Dana Bagi Hasil” yang diselenggarakan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sumut,  Sabtu (25/6). Hadir sebagai narasumber, Ke­tua GAPKI Sumut, Ir Balaman Tarigan MM, Jhon Tafbu Ri­tonga, Dekan Fakultas Eko­no­mi USU, Harry Azhar Azis MA, Anggota DPR RI serta Wakil Ke­tua DPRD Sumut, Chaidir Ri­tonga.

Dorongan tersebut karena Su­mut adalah salah satu da­erah­ yang memiliki kontribusi  ter­besar penghasil CPO di In­donesia. Hal ini yang menjadi dasar agar Sumut bisa mempe­roleh DBH Perkebunan. Karena selama ini, banyak devisa yang disumbangkan oleh Sumut atas peran selama ini yang mengekspor CPO secara rutin dalam jumlah yang banyak.    

Kemudian berdasarkan ha­sil ekspor tersebut, peme­rin­tah pusat menarik Bea Ke­luar (BK) ekspor CPO yang jum­lahnya di­perkirakan sudah men­capai Rp 60 Triliun sejak BK yang dulunya bernama Pu­ngu­tan Ekspor (PE) tersebut di­b­er­la­ku­kan.

Menurut Harry, upaya un­tuk mendapatkan DBH tersebut perlu perjuangan semua pi­hak, termasuk DPR asal Su­mut. ”Angggota DPR asal Su­mut juga harus berjuang. Saya ti­dak wakil Sumut. Dari 30 ang­gota DPR RI, 25 saja be­ri­kan dukungan, berarti sudah bi­sa gunakan hak inisiatif,” kata Harry dari daerah pemilihan Kepulauan Riau (Kepri) ini.

Berbeda dengan Jhon Taf­bu. Menurutnya, upaya untuk me­re­­a­lisasikan DBH tersebut se­benarnya tergantung dengan po­­­litical willnya pemerintah pusat. Tidak harus membuat re­­gulasi yang baru. Namun cu­kup dengan menambahkan pa­sal dalam PP No 55 tahun 2005 tersebut, untuk mengakodir­nya.

Sementara Plt Gubernur Su­mut, Gatot Pujo Nugroho yang pada saat menjadi key­no­te speaker pada kesempatan te­r­sebut mendukung sepenuhnya perjuangan dana bagi hasil (BHD) perkebunan.

“Perjuangan ini memang te­rus kami sampaikan pada fo­rum-forum resmi maupun se­ca­ra informal kepada pejabat terkait di pusat. Karena itu, sa­tu kata yang harus saya sam­pai­­kan saat ini adalah main­kan,” katanya.
Dari pertemuan tersebut Ga­­tot juga berharap, seminar yang diselenggarakan tidak ha­­nya sampai sebatas seminar-seminar saja, namun me­mi­liki tindak lanjut. Dengan mem­bentuk tim untuk terus mem­pertahankan komitmen dan menguatkan perjuangan ber­sama ini. “Sebab, jika DBH tersebut masuk ke Sumut, ma­ka akan semakin baik dalam pen­ciptaan infrastruktur yang me­madai,”katanya.
  
Parlemen Jalanan
Akibat kebijakan pemerintah dinilai belum berpihak, Aso­siasi Petani Kelapa Sawit In­donesia (APKASINDO)  me­ngan­cam akan segera turun ke ja­lan. Mereka akan menggelar ak­si parlemen jalanan, guna mem­protes sikap pemerintah pu­sat yang tidak pernah merealisasikan dana bagi hasil (DBH) daerah.

Karena meski telah dikutip pa­jak bea keluar (BK), petani sa­­­wit ini mengaku belum me­ra­sa­kan perhatian pemerintah. “Ka­mi minta BK dihapus saja, jika tidak mau membagi hasil ke daerah,”kata Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Wi­la­yah APKASINDO Sumut, Ir Gus Dalhari Harahap, kemarin (25/6).

Terlebih, sebelumnya pi­hak­nya telah berulangkali me­la­kukan negosiasi dengan DPR RI. Namun sayangnya, dari se­jum­lah pertemuan tersebut, hasilnya deadlock. ”Jadi tidak ada pilihan lain, kami akan la­ku­kan parlemen jalanan,” ka­tanya.

Direncanakan dalam aksi ter­sebut akan melibatkan aso­siasi petani kelapa sawit di se­lu­ruh Indonesia, seperti dari Pa­pua, Sulawesi, Kalimantan. Par­lemen jalanan ini, akan di­langsungkan di Jakarta dalam wak­tu dekat ini. Karena selama ini, pemerintah tidak  berpihak pa­da petani sawit.

Bahkan dengan kebijakan pe­merintah menaikkan pajak bea keluar (BK) dari 17,5 per­sen menjadi 20 persen untuk  CPO dinilai merugikan rakyat. Apalagi seperti kondisi saat ini, har­ga kelapa sawit justru se­dang turun. Hal tersebut oto­matis berdampak pada peng­ha­silan petani sawit.

“Hal seperti ini sangat irrasional. Pakai dasar apapun kita ini, sangat irrasional. Harga sa­witnya turun, pajak justru me­ningkat. Kami petani sangat ke­cewa dengan kebijakan ini,”ka­ta­nya seraya menam-bah­kan harga kepala sawit tan­dan buah segar (TBS) per ki­logramnya Rp 7.800 an.

Dijelaskannya, saat ini de­ngan kenaikan BK tersebut oto­matis akan berdampak pa­da peng­hasilan petani sawit se­besar Rp 400 per kilogramnya tandan buah segar (TBS). Se­mentara pe­tani tidak men­da­patkan apa-apa dari hasil sa­wit yang me­nik­mati malah pemerintah.

Padahal pada tahun 2010, pe­merintah melalui  APBN mem­berikan subsidi sebesar Rp 160 triliun. Namun sayang­nya, hal tersebut tidak sedikit pun kontribusi dirasakan pe­ta­ni sawit.

“Cobalah turun ke lapangan, lihat tempat tinggal kami. K­a­mi kehujanan, jalan buat ke ke­bun saja pun susah. Kalau ka­mi sakit, mau ke kota, sa,pai Asa­han asja sudah meninggal,” ka­tanya.

Hasil yang kami kontri­bu­si­kan ke pusat sama sekali, ti­dak ada buat kami. “jadi tidak ada cara lain, kami sudah lelah. Ka­mi akan menggelar parle­men jalanan untuk membuka mat­a pemerintah, ”katanya.

BK CPO picu penurunan harga TBS petani

MEDAN - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sumatera Utara kembali meminta pemerintah mencabut kebijakan bea keluar minyak sawit mentah yang akan dinaikan besarannya menjadi 20 persen untuk pengriman Juli 2011, karena selalu menyebabkan harga tandan buah segar petani tetap murah.

"Ini saja dengan rencana kenaikan BK (bea keluar) menjadi 20 persen mulai Juli, harga TBS (tandan buah segar) sawit petani sudah turun hingga Rp200 per kg," kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPW) Apkasindo Sumut H Ahmad Gunari, di Medan, Minggu.

Apkasindo Sumut meminta pemerintah mencabut BK CPO (crude palm oil) atau minyak sawit mentah, ujarnya.

Apkasindo Sumut bersamaan pelantikan pengurus melaksanakan seminar nasional petani kelapa sawit dalam pembangunan industri Indonesia dan Raker DPW/DPD Apkasindo se-Sumatera Utara yang dijadwalkan dibuka Plt Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho.

Dalam seminar dan rapat kerja Apkasindo itu antara lain akan membahas soal nasib petani sawit yang tidak pernah menikmati seutuhnya kenaikan harga ekspor karena selalu dibebani dengan berbagai pungutan baik langsung atau tidak langsung seperti BK CPO.

Akibat mau dinaikkannya BK CPO, harga TBS di Labuhan Batu akhir pekan ini tinggal Rp1.530 - Rp 1.681 per kg dari sebelumnya Rp1.700 - Rp1.800 per kg.Harga diperkirakan akan turun lagi kalau nyatanya ekspor tertekan, padahal seharusnya saat musim trek atau kering seperti dewasa ini yang membuat produksi menurun, harga TBS mahal.

BK CPO yang dibebankan kepada pengusaha, kata dia, berimbas langsung ke petani karena pengusaha juga menurunkan harga belinya.
Sementara, dana BK yang dikutip pemerintah itu, nyatanya tidak juga bisa dinikmati petani atau pemerintah daerah penghasil sawit tersebut yang ditandai infrastruktur seperti jalan yang sangat jelek dari dan ke daerah sentra produksi sawit.

Sekretaris Umum Apkasindo Sumut, Gus Dalhari Harahap, menambahkan, harga sawit petani semakin murah karena biaya produksi seperti ongkos angkut menjadi lebih mahal.Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Laksamana Adiyaksa, mengatakan, Gapki menilai kenaikan BK CPO menjadi 20 persen untuk pengiriman Juli mendatang tidak fair.

Keberatan itu juga, kata dia, sudah dilontarkan Gapki Pusat.Pemerintah, kata dia, selalu berpatokan hanya pada kenaikan harga sawit di pasar internasional dan langsung menaikkan BK dengan struktur yang progresif pula.

Akibat BK yang terus dinaikkan, kata dia, kenaikan harga sawit tidak pernah benar-benar dinikmati pengusaha dan petani.Kenaikan BK CPO menjadi 20 persen dengan harga referensi CPO per Juli sebesar 1.168,38 per metrik ton juga mengancam peningkatan ekspor karena pembeli juga berupaya menahan pembelian atau transaksi menunggu harga turun.

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan di Jakarta, menetapkan BK CPO untuk Juli mendatang sebesar 20 persen, naik dibanding Juni yang masih 17,5 persen. BK CPO memang pernah mencapai 25 persen pada Maret lalu.

Petani Minta Bea Keluar CPO Dihapus

JAKARTA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menuntut agar bea keluar untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dihapuskan. Pungutan bea keluar 20% membuat harga sawit turun menjadi Rp800/kg.

Ketua Dewan Perwakilan Wilayah Apkasindo Sumatera Utara (Sumut) Rinto Gunari mengatakan, dengan menaikkan bea keluar CPO 20%, pemerintah tidak prorakyat. Pengenaan bea keluar menurunkan harga sawit, sementara bantuan yang dijanjikan pemerintah seperti bibit sawit murah, pupuk murah, kemudahan pengurusan lahan sawit, dan biaya penanaman kembali (replanting) tidak berjalan.

“Pemerintah hanya bisa berjanji, padahal petani kelapa sawit butuh biaya replanting Rp4 triliun. Adanya 20% bea keluar membuat petani sawit tidak bisa melakukan peremajaan tanaman. Kita menuntut bea keluar 20% dihapuskan,” kata Rinto di Jakarta kemarin.

Rencananya, pemerintah akan menetapkan bea keluar CPO sebesar 20% untuk pengapalan mulai Juli 2011, naik dibandingkan bea keluar Juni 2011 sebesar 17,5%. Bea tersebut ditetapkan berdasarkan harga rata-rata CPO pada bursa Rotterdam. Harga referensi yang menjadi rujukan bea keluar untuk bulan depan sebesar USD1.168,38/ton, lebih tinggi dari harga referensi Juni lalu yang hanya USD1.146/ton.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 67/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenai Bea Keluar, jika harga referensi USD1.151–USD1.200/ton, bea keluarnya ditetapkan 20%. Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Deddy Saleh mengatakan, instrumen kebijakan bea keluar sampai saat ini dirasakan masih efektif.

Namun, pemerintah tetap melakukan evaluasi kebijakan dari segi penerapan harga batas bawah dan struktur tarifnya sehingga dapat mendukung hilirisasi komoditas kelapa sawit. Namun kalangan pengusaha menilai kebijakan tersebut membebani pengusaha dan petani.

Sebelumnya,Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menyarankan pemerintah menetapkan bea keluar CPO flat sebesar 3% pada tingkat harga CPO dunia USD700/ton atau lebih.

Pemerintah juga diminta membebaskan bea keluar produk turunannya supaya kebijakan itu bisa menjadi instrumen stabilisasi harga minyak sawit sekaligus pendorong perkembangan industri hilirnya. bernadette lilia nova

Selasa, 14 Juni 2011

Pangdam I/BB Terima Audiensi dari Pengurus APKASINDO Sumatera Utara

Jumat, 27 Mei 2011

Enam Arahan dan Saran Presiden SBY Untuk Industri Kelapa Sawit Nasional

Berikut arahan dan saran Presiden SBY seperti yang dikutip dan disampaikan kembali oleh Ketua Umum GAPKI Joefly J. Bahroeny saat perayaan "Semarak 100 Tahun Industri Kelapa Sawit Indonesia" di Medan 29 Maret 2011 :
  1. Presiden telah dan akan tetap berdiri paling depan dan pasang badan dalam membela kepentingan industri nasional termasuk industri kelapa sawit terutama atas berbagai tuduhan yang tidak benar dari dunia internasional. Namun Presiden mengharapkan agar para pelaku usaha benar-benar mematuhi berbagai ketentuan dan peraturan pemerintah.
  2. Presiden juga mendukung agar berbagai peraturan terutama kaitannya dengan perpajakan tidak memberatkan pengusaha. Bahkan dalam kesempatan tersebut Presiden mencatat dan meminta agar para menteri melakukan follow up atas keberatan industri kelapa sawit terhadap PPN bagi perusahaan terintegrasi dan pengenaan Bea Keluar (BK) yang progresif dan tidak adil.
  3. Presiden juga menyatakan bahwa kebijakan moratorium tidak akan mematikan perkembangan dan perluasan industri sawit. Presiden menyatakan pendataan dan penataan lahan-lahan terdegradasi akan terus dilakukan dan digunakan untuk kepentingan dan aktifitas ekonomi masyarakat.
  4. Presiden juga menyatakan bahwa penyelesaian persoalan tata ruang propinsi akan dilakukan secara bijaksana dan tidak akan merugikan investasi yang telah dilakukan investor selama itu dilakukan dengan memenuhi peraturan yang berlaku saat ini.
  5. Presiden meminta agar kita benar-benar memiliki komitmen menerapkan prinsip green development (sutainability) dalam operasi perusahaan.
  6. Presiden juga mengharapkan agar kita tidak puas hanya sekedar menjadi penghasil terbesar CPO tapi juga harus menjadi dan memiliki industri hilir yang handal dan kuat dimana nilai tambahnya dapat diperoleh untuk kepentingan ekonomi bangsa

                                    Menghadap Presiden : Sejumlah pengurus GAPKI menghadap 
                                                presiden SBY berkaitan sejumlah persoalan yang dihadapi 
                                               industri kelapa sawit. Pesoalan tata ruang dan bea keluar ekspor 
                                              CPO yang menjadi topik pembicaraan.

sumber : Tropis, Edisi 3/ Tahun IV/ Mei 2011 

Kamis, 26 Mei 2011

Tujuh Agenda Perjuangan APKASINDO

  1. permentan Nomor 17/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun perlu di sempurnakan, sehingga lebih adil dan tidak merugikan petani pekebun kelapa sawit;
  2. pemerintah c.q. Badan Pertanahan Nasional agar meniadakan Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan mempermudah proses sertifikasi lahan petani, khususnya petani kelapa sawit swadaya, sehingga mempermudah petani untuk mendapatkan kredit dari perbankan;
  3. pemerintah c.q. Menteri Keuangan agar meninjau kembali aturan tentang Biaya Keluar (BK) ekspor CPO progresif yang saat ini sudah mencapai 25% dari Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO, karena berdampak langsung terhadap harga pembelian TBS petani-pekebun oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS);
  4. minimal sebesar 25% penerimaan pemerintah yang bersumber dari Pajak Ekspor (PE) atau BK produk minyak sawit agar dikembalikan kepada petani pekebun kelapa sawit, antara lain dalam bentuk pembangunan infrastruktur kebun sawit petani, membantu biaya sertifikasi lahan/kebun petani, pembiayaan peremajaan kebun petani serta penguatan kelembagaan petani, dan lain sebagainya;
  5. pemerintah dan perusahaan besar perkebunan, baik BUMN (PBN) maupun swasta (PBS), agar terlibat aktif dan memberikan dukungan terhadap kegiatan pembinaan petani pekebun, yang diaktualisasikan dalam bentuk kerjasama dengan APKASINDO dimasing-masing wilayah kerjanya;
  6. memperjuangkan pupuk bersubsidi bagi petani pekebun kelapa sawit;
  7. mendesak DPR agar mengawasi pelaksanaan Permentan No. 26 Tahun 2007 tentang izin Usaha Perkebunan, yang pada intinya mewajibkan setiap perusahaan perkebunan harus membangun kebun rakyat minimal 20%, karena dari pemantauan APKASINDO di lapangan masih banyak perusahaan perkebunan yang belum melaksanakan Permentan tersebut.

Rabu, 25 Mei 2011

Pemuliaan Tanaman

Pemuliaan tanaman adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk mengubah susunan genetik tanaman, baik individu maupun secara bersama-sama (populasi) dengan tujuan tertentu. Pemuliaan tanaman kadang-kadang disamakan dengan penangkaran tanaman, kegiatan memelihara tanaman untuk memperbanyak dan menjaga kemurnian; pada kenyataannya, kegiatan penangkaran adalah sebagian dari pemuliaan. Selain melakukan penangkaran, pemuliaan berusaha memperbaiki mutu genetik sehingga diperoleh tanaman yang lebih bermanfaat.
Pengetahuan mengenai perilaku biologi tanaman dan pengalaman dalam budidaya tanaman merupakan hal yang paling menentukan keberhasilan usaha pemuliaan, sehingga buku-buku teks seringkali menyebut pemuliaan tanaman sebagai seni dan ilmu memperbaiki keturunan tanaman demi kemaslahatan manusia[1]. Di perguruan tinggi, pemuliaan tanaman biasa dianggap sebagai cabang agronomi (ilmu produksi tanaman) atau genetika terapan, karena sifat multidisiplinernya.
Pelaku pemuliaan tanaman disebut pemulia tanaman. Karena pengetahuannya, seorang pemulia tanaman biasanya juga menguasai agronomi dan genetika. Tugas pokok seorang pemulia tanaman adalah merakit kultivar yang lebih baik[2]: memiliki ciri-ciri yang khas dan lebih bermanfaat bagi penanamnya. Kultivar juga dikenal awam sebagai varietas, meskipun keduanya tidak selalu sama artinya.
Aplikasi kultivar unggul padi dan gandum merupakan salah satu komponen penting dalam Revolusi Hijau[3], suatu paket penggunaan teknologi modern secara massal untuk menggenjot produksi pangan dunia, khususnya gandum roti, jagung, dan padi. Dilihat dari sudut pandang agribisnis, pemuliaan tanaman merupakan bagian dari usaha perbenihan yang menempati posisi awal/hulu dari keseluruhan mata rantai industri pertanian.

Tujuan dalam pemuliaan tanaman

Tujuan dalam pemuliaan tanaman dapat bersifat spesifik. Tanaman di bagian kanan atas warna daunnya menjadi merah apabila tempat tumbuhnya mengandung nitrogen dioksida. Sifat ini dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan ranjau yang melepaskan senyawa tersebut.
Tujuan dalam program pemuliaan tanaman didasarkan pada strategi jangka panjang untuk mengantisipasi berbagai perubahan arah konsumen atau keadaan lingkungan. Pemuliaan padi, misalnya, pernah diarahkan pada peningkatan hasil, tetapi sekarang titik berat diarahkan pada perakitan kultivar yang toleran terhadap kondisi ekstrem (tahan genangan, tahan kekeringan, dan tahan lahan bergaram) karena proyeksi perubahan iklim dalam 20-50 tahun mendatang. Tujuan pemuliaan akan diterjemahkan menjadi program pemuliaan.
Ada dua tujuan umum dalam pemuliaan tanaman: peningkatan kepastian terhadap hasil yang tinggi dan perbaikan kualitas produk yang dihasilkan[4].
Peningkatan kepastian terhadap hasil biasanya diarahkan pada peningkatan daya hasil, cepat dipanen, ketahanan terhadap organisme pengganggu atau kondisi alam yang kurang baik bagi usaha tani, serta kesesuaian terhadap perkembangan teknologi pertanian yang lain. Hasil yang tinggi menjamin terjaganya persediaan bahan mentah untuk diolah lebih lanjut. Tanaman yang berumur singkat (genjah) akan memungkinkan efisiensi penggunaan lahan yang lebih tinggi. Ketahanan terhadap organisme pengganggu atau kondisi alam yang tidak mendukung akan membantu pelaku usaha tani menghindari kerugian besar akibat serangan hama, penyakit, serta bencana alam. Beberapa tanaman tertentu yang dalam usaha budidayanya melibatkan banyak peralatan mekanik memerlukan populasi yang seragam atau khas agar dapat sesuai dengan kemampuan mesin dalam bekerja.
Usaha perbaikan kualitas produk adalah tujuan utama kedua. Tujuan semacam ini dapat diarahkan pada perbaikan ukuran, warna, kandungan bahan tertentu (atau penambahan serta penghilangan substansi tertentu), pembuangan sifat-sifat yang tidak disukai, ketahanan simpan, atau keindahan serta keunikan. Perkembangan bioteknologi di akhir abad ke-20 telah membantu pemuliaan terhadap tanaman yang mampu menghasilkan bahan pangan dengan kandungan gizi tambahan (pangan fungsional) atau mengandung bahan pengobatan tertentu (pharmcrops, kegiatannya dikenal sebagai crop pharming)[5]

Sejarah

Kegiatan pemuliaan tanaman dapat dikatakan sebagai tekanan evolusi yang sengaja dilakukan oleh manusia. Pada masa prasejarah, pemuliaan tanaman telah dilakukan orang sejak dimulainya domestikasi tanaman, namun dilakukan tanpa dasar ilmu yang jelas. Sisa-sisa biji-bijian dari situs-situs peninggalan arkeologi membantu menyingkap masa prasejarah pemuliaan tanaman. Catatan-catatan pertama dalam jumlah besar mengenai berbagai jenis tanaman diperoleh dari karya penulis-penulis Romawi, terutama Plinius.

Domestikasi

Perkembangan bunga betina jagung dari teosinte (kiri) tanpa tongkol menjadi jagung dengan tongkol dan banyak baris.
Para petani di masa-masa awal pertanian selalu menyimpan sebagian benih untuk pertanaman berikutnya dan tanpa sengaja melakukan pemilihan (seleksi) terhadap tanaman yang kuat karena hanya tanaman yang kuat mampu bertahan hingga panen[6]. Sifat pertama dalam budidaya tanaman serealia (bijirin) yang termuliakan adalah ukuran bulir yang menjadi lebih besar dan menurunnya tingkat kerontokan bulir pada tanaman budidaya apabila dibandingkan dengan moyang liarnya[7]. Beberapa petunjuk untuk hal ini dapat diperkirakan dari temuan sejumlah sisa bulir jelai dan einkorn di lembah Sungai Eufrat dan Sungai Tigris (paling tua 9000 SM) serta padi di daerah aliran Sungai Yangtze[7]. Temuan serupa untuk biji polong-polongan berasal dari India utara dan kawasan Afrika Sub-Sahara[7].
Perkembangan seleksi lebih lanjut telah menunjukkan kesengajaan dan terkait dengan tingkat kebudayaan masyarakat penanam. Bulir jagung terseleksi dari teosinte yang bulirnya keras serta terbungkus sekam, lalu menjadi jagung bertongkol namun bulirnya masih terbungkus sekam, dan akhirnya bentuk yang berbulir tanpa sekam dan lebih mudah digiling menjadi semakin banyak ditemukan. Beberapa petunjuk yang sama juga terlihat dari temuan-temuan untuk bulir gandum roti dan jelai[7]. Contoh lainnya adalah munculnya padi ketan serta jagung ketan di Asia Timur dan Asia Tenggara[7]. Hanya dari wilayah inilah muncul jenis-jenis ketan dari delapan spesies dan menunjukkan preferensi akan sifat ini.

Pemuliaan di masa pramodern

Kebudayaan Romawi Kuna (abad ke-9 SM – abad ke-5 Masehi) meninggalkan banyak tulisan mengenai keanekaragaman tanaman budidaya dan juga menyebut berbagai variasi setiap jenis. Cato dengan De Agri Cultura[8] dan Plinius (Tua) dengan Naturalis Historia, misalnya, memberi banyak informasi mengenai variasi tanaman dan khasiat masing-masing bagi kesehatan.
Kitab-kitab suci dari Asia Barat, seperti Al-Qur'an[9], juga menyebut tentang variasi pada beberapa tanaman. Hal ini menunjukkan telah ada kesadaran dalam memilih bahan tanam dan pemilihan kultivar tertentu dengan target konsumen yang berbeda-beda.
Pada awal milenium pertama dan paruh pertama milenium kedua telah terjadi pertukaran komoditi pertanian yang berakibat migrasi sejumlah bahan pangan. Pisang menyebar dari Asia Tenggara maritim ke arah barat hingga pantai timur Afrika. Berbagai tanaman rempah, seperti merica dan ketumbar, dan tanaman "suci", seperti randu alas dan beringin, menyebar dari India ke Nusantara. Namun demikian, pertukaran tanaman yang intensif terjadi setelah penjelajahan orang Eropa.

Kolonialisme dan penyebaran tanaman "eksotik"

Bermacam-macam variasi kentang. Kentang didatangkan dari Amerika Selatan pada abad ke-15 ke Eropa, lalu menyebar ke Asia.
Meskipun penyebaran tanaman telah terjadi sebelum kolonialisme, Zaman Penjelajahan (sejak abad ke-14) dan kolonialisme (penjajahan) yang menyusulnya telah membawa pengaruh yang dramatis dalam budidaya tanaman.
Segera setelah orang Spanyol dan Portugis menaklukkan Amerika dan menemukan jalur laut ke Tiongkok, terjadi pertukaran berbagai tanaman dari Dunia Baru ke Dunia Lama, dan sebaliknya. Kopi yang berasal Afrika, misalnya, dibawa ke Amerika dan Asia (dibawa ke Nusantara pada abad ke-18 awal[10]). Kelak (abad ke-18) tebu juga menyebar dari Asia Tenggara menuju Amerika tropis, seperti Karibia dan Guyana. Namun demikian, yang lebih intensif adalah penyebaran berbagai tanaman budidaya penduduk asli Amerika ke tempat lain: jagung, kentang, tomat, cabai, kakao, para (karet), serta berbagai tanaman buah dan hias.
Pada abad ke-18, terjadi gelombang rasionalisasi di Eropa sebagai dampak Masa Pencerahan. Orang-orang kaya di Eropa (dan pada tingkat tertentu juga di Tiongkok dan Jepang) mulai meminati koleksi tanaman eksotik dan kebun-kebun kastil mereka yang luas menjadi tempat koleksi berbagai tanaman dari negeri asing. Pada abad ke-18 mulai berkembang perkebunan-perkebunan monokultur (satu macam tanaman pada satu petak lahan). Berbagai tanaman penghasil komoditi dagang utama dunia seperti tebu, teh, kopi, lada, dan tarum dibudidayakan di berbagai tanah jajahan, termasuk Kepulauan Nusantara, tentu saja dengan melibatkan perbudakan atau tanam paksa. Pada abad ini pula cengkeh dan pala mulai ditanam di luar Maluku, sehingga harganya menurun dan tidak lagi menjadi rempah-rempah yang eksklusif.
Pola pertanaman monokultur yang diterapkan pada abad ke-18 dan ke-19 di Eropa dan perkebunan-perkebunan di berbagai negeri jajahan memakan korban dengan terjadinya dua wabah besar: serangan hawar kentang Phytophthora infestans yang menyebabkan Wabah Kelaparan Besar di Irlandia, Skotlandia serta beberapa wilayah Eropa lainnya sejak 1845 akibat dan hancurnya perkebunan kopi arabika dan liberika akibat serangan karat daun Hemileia vastatrix di perkebunan dataran rendah Afrika dan Asia sejak 1861 sampai akhir abad ke-19. Pada tahun 1880-an juga meluas wabah penyakit sereh di berbagai perkebunan tebu dunia[11].
Para botaniwan dan ahli pertanian kemudian segera mengambil pelajaran dari kasus-kasus ini untuk menyediakan bahan tanam yang tahan terhadap serangan organisme pengganggu, sekaligus memberikan hasil yang lebih baik. Usaha-usaha perbaikan mutu genetik tanaman perkebunan mulai dilakukan pada akhir abad ke-19 di beberapa daerah koloni, termasuk Hindia-Belanda.
Kebun penelitian gula (tebu) pertama kali didirikan di Semarang tahun 1885 (Proefstation Midden Java), setahun kemudian didirikan pula di Kagok, Jawa Barat, dan menyusul di Pasuruan tanggal 8 Juli 1887 (Proefstation Oost Java, POJ). Salah satu misinya adalah mengatasi kerugian akibat penyakit sereh. Pada tahun 1905 seluruh penelitian gula/tebu dipusatkan di Pasuruan (sekarang menjadi P3GI)[12]. Berbagai klon tebu hasil lembaga penelitian ini pernah termasuk sebagai kultivar tebu paling unggul di dunia di paruh pertama abad ke-20, seperti POJ 2364, POJ 2878, dan POJ 3016 sehingga menjadikan Jawa sebagai produsen gula terbesar di belahan timur bumi[13].
Pusat Penelitian Karet didirikan di Sungei Putih, Sumatera Utara, oleh AVROS, dan pemuliaan para dimulai sejak 1910[14]. AVROS juga mendirikan Pusat Penelitian Kelapa Sawit di Marihat, Sumatera Utara pada tahun 1911, meskipun tanaman ini sudah sejak 1848 didatangkan ke Medan/Deli dan Bogor.

Abad ke-20: Pemuliaan berbasis ilmu

Awal abad ke-20 menjadi titik perkembangan pemuliaan tanaman yang berbasis ilmu pengetahuan. Perkembangan pesat dalam botani, genetika, agronomi, dan statistika tumbuh sebagai motor utama modernisasi pemuliaan tanaman sejak awal abad ke-20 hingga 1980-an. Mekanisasi pertanian di dunia yang meluas sejak 1950-an memungkinkan penanaman secara massal dengan tenaga kerja minimal. Ketika biologi molekular tumbuh pesat sejak 1970-an, pemuliaan tanaman juga mengambil manfaat darinya, dan mulailah perkembangan pemuliaan tanaman yang didukung ilmu tersebut sejak 1980-an. Bioinformatika juga perlahan-lahan mengambil peran statistika sebagai pendukung utama dalam analisis data eksperimen.
Gelombang pertama: pemuliaan konvensional
Jagung hibrida telah mendominasi lahan jagung di Amerika Serikat sejak 1930-an, sementara di Indonesia hingga 2007 masih di bawah 50 persen[15].
Penemuan kembali Hukum Pewarisan Mendel pada tahun 1900, eksperimen terhadap seleksi atas generasi hasil persilangan dan galur murni oleh Wilhelm Johannsen (dekade pertama abad ke-20), peletakan dasar Hukum Hardy-Weinberg (1908 dan 1909), dan penjelasan pewarisan kuantitatif berbasis Hukum Mendel oleh Sir Ronald Fisher pada tahun 1916 memberikan banyak dasar-dasar teoretik terhadap berbagai fenomena yang telah dikenal dalam praktik dan menjadi dasar bagi aplikasi ilmu dan teknologi dalam perbaikan kultivar.
Perkembangan yang paling revolusioner dalam genetika dan pemuliaan tanaman adalah ditemukannya cara perakitan varietas hibrida pada tahun 1910-an setelah serangkaian percobaan persilangan galur murni di Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19 oleh Edward M. East, George H. Shull dan Donald F. Jones yang memanfaatkan gejala heterosis. Ditemukannya teknologi mandul jantan di tahun 1940-an semakin meningkatkan efisiensi perakitan varietas hibrida.
Cara budidaya yang semakin efisien dan mendorong intensifikasi dalam pertanian, dengan penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan mekanisasi pertanian, memunculkan lahan pertanian dengan kebutuhan benih berjumlah besar dan mulai menghasilkan "raksasa" dalam industri perbenihan. Tumbuhnya industri perbenihan juga dimungkinkan sejak adanya varietas hibrida karena benih yang harus dibeli petani memungkinkan industri perbenihan untuk tumbuh. Dari sini mulai muncul pula isu perlindungan varietas tanaman. Di Amerika Serikat muncul Dekalb dan Pioneer Hi-Bred sebagai pemain utama dalam industri benih. Di Jerman, negara yang telah memiliki banyak penghasil benih sejak abad ke-19, muncul KWS Saat dan NPZ sebagai pemain utama di bidang perbenihan tanaman serealia dan pakan ternak hijauan, khususnya di Eropa. Di Taiwan dan Jepang juga berkembang perusahaan benih yang menguasai pasar regional Asia, seperti Sakata (Jepang), East West Seed dan Known You Seed (Taiwan).

Seusai Perang Dunia II (PD II) perbaikan genetik gandum yang didukung Yayasan Rockefeller di lembaga penelitian yang didanainya di Meksiko sebagai bagian dari paket teknologi untuk melipatgandakan hasil gandum menunjukkan keberhasilan. Strategi ini, yang dikonsep oleh Norman Borlaug, kemudian dicoba untuk diterapkan pada tanaman pokok lain, khususnya padi dan beberapa serealia minor lainnya (seperti sorgum dan milet) dan didukung oleh FAO. Revolusi dalam teknik bercocok tanam ini kelak dikenal secara iinformal sebagai Revolusi Hijau. Untuk mendukung revolusi ini banyak dibentuk lembaga-lembaga penelitian perbaikan tanaman bertaraf dunia seperti CIMMYT (di Meksiko, 1957; sebagai kelanjutan dari lembaga milik Yayasan Rockefeller), IRRI (di Filipina, 1960), ICRISAT (di Andhra Pradesh, India, 1972), dan CIP (di La Molina, Peru). Lembaga-lembaga ini sekarang tergabung dalam CGIAR dan koleksi serta hasil-hasil penelitiannya bersifat publik.
Akhir PD II juga menjadi awal berkembangnya teknik-teknik baru dalam perluasan latar genetik tanaman. Mutasi buatan, yang tekniknya dikenal sejak 1920-an, mulai luas dikembangkan pada tahun 1950-an sampai dengan 1970-an sebagai cara untuk menambahkan variabilitas genetik. Pemuliaan dengan menggunakan teknik mutasi buatan ini dikenal sebagai pemuliaan mutasi. Selain mutasi, teknik perluasan latar genetik juga menggunakan teknik poliploidisasi buatan menggunakan kolkisin, yang dasar-dasarnya diperoleh dari berbagai percobaan oleh Karpechenko pada tahun 1920-an. Tanaman poliploid biasanya berukuran lebih besar dan dengan demikian memiliki hasil yang lebih tinggi.
Gelombang kedua: Integrasi bioteknologi dalam pemuliaan
Daun dari kacang tanah yang telah direkayasa dengan sisipan gen cry dari Bacillus thuringiensis (bawah) tidak disukai ulat penggerek.
Gelombang bioteknologi, yang memanfaatkan berbagai metode biologi molekuler, yang mulai menguat pada tahun 1970-an mengimbas pemuliaan tanaman. Tanaman transgenik pertama dilaporkan hampir bersamaan pada tahun 1983[16], yaitu tembakau, Petunia, dan bunga matahari. Selanjutnya muncul berbagai tanaman transgenik dari berbagai spesies lain; yang paling populer dan kontroversial adalah pada jagung, kapas, tomat, dan kedelai yang disisipkan gen-gen toleran herbisida atau gen ketahanan terhadap hama tertentu. Perkembangan ini memunculkan wacana pemberian hak paten terhadap metode, gen, serta tumbuhan terlibat dalam proses rekayasa ini. Kalangan aktivis lingkungan dan sebagian filsuf menilai hal ini kontroversial dengan memunculkan kritik ideologis dan etis terhadap praktik ini sebagai reaksinya, terutama karena teknologi ini dikuasai oleh segelintir perusahaan multinasional. Isu politik, lingkungan, dan etika, yang sebelumnya tidak pernah masuk dalam khazanah pemuliaan tanaman, mulai masuk sebagai pertimbangan baru.
Sebagai jawaban atas kritik terhadap tanaman transgenik, pemuliaan tanaman sekarang mengembangkan teknik-teknik bioteknologi dengan risiko lingkungan yang lebih rendah seperti SMART Breeding ("Pemuliaan SMART")[17][18] dan Breeding by Design[19], yang mendasarkan diri pada pemuliaan dengan penanda[20], dan juga penggunaan teknik-teknik pengendalian regulasi ekspresi gen seperti peredaman gen dan, kebalikannya, pengaktifan gen.
Meskipun penggunaan teknik-teknik terbaru telah dilakukan untuk memperluas keanekaragaman genetik tanaman, hampir semua produsen benih, baik yang komersial maupun publik, masih mengandalkan pada pemuliaan tanaman "konvensional" dalam berbagai programnya.
Di arah yang lain, gerakan pemuliaan tanaman "gotong-royong" atau partisipatif (participatory plant breeding) juga menjadi jawaban atas kritik hilangnya kekuasaan petani atas benih. Gerakan ini tidak mengarah pada perbaikan hasil secara massal, tetapi lebih mengarahkan petani, khususnya yang masih tradisional, untuk tetap menguasai benih yang telah mereka tanam secara turun-temurun sambil memperbaiki mutu genetiknya. Perbaikan mutu genetik tanaman ditentukan sendiri arahnya oleh petani dan pemulia membantu mereka dalam melakukan programnya sendiri[21]. Istilah "gotong-royong" (participatory) digunakan untuk menggambarkan keterlibatan semua pihak (petani, LSM, pemulia, dan pedagang benih) dalam kegiatan produksi benih dan pemasarannya. Gerakan ini sangat memerlukan dorongan dari organisasi non-pemerintah (LSM), khususnya pada masyarakat tidak berorientasi komersial.

Strategi dasar pemuliaan tanaman

Pemuliaan tanaman mencakup tindakan penangkaran koleksi bahan/material pemuliaan (dikenal pula sebagai plasma nutfah atau germplasms), penciptaan kombinasi sifat-sifat baru (biasanya melalui persilangan yang intensif), dan seleksi terhadap bahan yang dimiliki. Semua tindakan ini dilakukan setelah tujuan spesifik program pemuliaan ditentukan sebelumnya[22].

Koleksi plasma nutfah

Koleksi plasma nutfah dapat disimpan dalam bank/gudang benih.
Plasma nutfah adalah bahan baku dasar pemuliaan karena di sini tersimpan berbagai keanekaragaman sifat yang dimiliki oleh masing-masing nomor koleksi (aksesi). Tanpa keanekaragaman, perbaikan sifat tidak mungkin dilakukan.
Usaha pencarian plasma nutfah baru berarti eksplorasi ke tempat-tempat yang secara tradisional menjadi pusat keanekaragaman hayati (atau hutan) atau dengan melakukan pertukaran koleksi. Lembaga-lembaga publik seperti IRRI dan CIMMYT menyediakan koleksi plasma nutfah bagi publik secara bebas bea, namun untuk kepentingan bisnis diatur oleh perjanjian antara pihak-pihak yang terkait.

Peningkatan keragaman (variabilitas) genetik

Keanekaragaman dalam plasma nutfah merupakan bahan dasar untuk perakitan kultivar baru.
Apabila aksesi tidak ada satu pun yang memiliki suatu sifat yang diinginkan, pemulia tanaman melakukan beberapa cara untuk merakit individu yang memiliki sifat ini. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah introduksi bahan koleksi, persilangan, manipulasi kromosom, mutasi dengan paparan radioaktif atau bahan kimia tertentu, penggabungan (fusi) protoplas/inti sel, manipulasi urutan gen, transfer gen, dan manipulasi regulasi gen.
Empat cara yang disebut terakhir kerap dianggap sebagai bagian dari bioteknologi pertanian (green biotechnology). Tiga cara yang terakhir adalah bagian dari rekayasa genetika dan dianggap sebagai "pemuliaan tanaman molekular" karena menggunakan metode-metode biologi molekular[23].
 Introduksi
Mendatangkan bahan tanam dari tempat lain (introduksi) merupakan cara paling sederhana untuk meningkatkan keragaman (variabilitas) genetik. Seleksi penyaringan (screening) dilakukan terhadap koleksi plasma nutfah yang didatangkan dari berbagai tempat dengan kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Pengetahuan tentang pusat keanekaragaman (diversitas) tumbuhan penting untuk penerapan cara ini. Keanekaragaman genetik untuk suatu spesies tidaklah sama di semua tempat di dunia. N.I. Vavilov, ahli botani dari Rusia, memperkenalkan teori "pusat keanekaragaman" (centers of origin) bagi keanekaragaman tumbuhan.
Contoh pemuliaan yang dilakukan dengan cara ini adalah pemuliaan untuk berbagai jenis tanaman buah asli Indonesia, seperti durian dan rambutan, atau tanaman pohon lain yang mudah diperbanyak secara vegetatif, seperti ketela pohon dan jarak pagar. Introduksi dapat dikombinasi dengan persilangan.
 Persilangan
Malai padi dibungkus dengan kertas pelindung untuk mencegah penyerbukan yang tidak dikehendaki. Persilangan masih menjadi tulang punggung industri perbenihan sampai saat ini.
Persilangan merupakan cara yang paling populer untuk meningkatkan variabilitas genetik, bahkan sampai sekarang karena murah, efektif, dan relatif mudah dilakukan. Berbagai galur hasil rekayasa genetika pun biasanya masih memerlukan beberapa kali persilangan untuk memperbaiki penampilan sifat-sifat barunya.
Pada dasarnya, persilangan adalah manipulasi komposisi gen dalam populasi. Keberhasilan persilangan memerlukan prasyarat pemahaman akan proses reproduksi tanaman yang bersangkutan (biologi bunga). Berbagai macam skema persilangan telah dikembangkan (terutama pada pertengahan abad ke-20) dan menghasilkan sekumpulan metode pemuliaan yang lazim diajarkan di perkuliahan bagi mahasiswa pemuliaan tanaman tingkat sarjana.
Walaupun secara teknis relatif mudah, keberhasilan persilangan perlu mempertimbangkan ketepatan waktu berbunga (sinkronisasi), keadaan lingkungan yang mendukung, kemungkinan inkompatibilitas, dan sterilitas keturunan. Keterampilan teknis dari petugas persilangan juga dapat berpengaruh pada keberhasilan persilangan. Pada sejumlah tanaman, seperti jagung, padi, dan Brassica napus (rapa), penggunaan teknologi mandul jantan dapat membantu mengurangi hambatan teknis karena persilangan dapat dilakukan tanpa bantuan manusia.
Semua varietas unggul padi, jagung, dan kedelai yang ditanam di Indonesia saat ini dirakit melalui persilangan yang diikuti dengan seleksi.
Perkembangan dalam biologi molekular memunculkan metode-metode pemuliaan baru yang dibantu dengan penanda genetik dan dikenal sebagai pemuliaan dengan penanda.
 Manipulasi kromosom
Yang termasuk dalam cara ini adalah semua manipulasi ploidi, baik poliploidisasi (penggandaan genom) maupun pengubahan jumlah kromosom. Gandum roti dikembangkan dari penggabungan tiga genom spesies yang berbeda-beda. Semangka tanpa biji dikembangkan dari persilangan semangka tetraploid dengan semangka diploid. Pengubahan jumlah kromosom (seperti pembuatan galur trisomik atau monosomik) biasanya dilakukan sebagai alat analisis genetik untuk menentukan posisi gen-gen yang mengatur sifat tertentu. Galur dengan jumlah kromosom yang tidak berimbang seperti itu mengalami hambatan dalam pertumbuhannya.
Teknik pemuliaan ini sebenarnya juga mengandalkan persilangan dalam praktiknya.
 Pemuliaan dengan bantuan mutasi
Pemuliaan tanaman dengan bantuan mutasi (dikenal pula sebagai pemuliaan tanaman mutasi) adalah teknik yang pernah cukup populer untuk menghasilkan variasi-variasi sifat baru. Teknik ini pertama kali diterapkan oleh Stadler pada tahun 1924[24] tetapi prinsip-prinsip pemanfaatannya untuk pemuliaan tanaman diletakkan oleh Åke Gustafsson dari Swedia.[24]. Tanaman dipaparkan pada sinar radioaktif dari isotop tertentu (biasanya kobal-60) dengan dosis rendah sehingga tidak mematikan tetapi mengubah sejumlah basa DNA-nya. Mutasi pada gen akan dapat mengubah penampilan tanaman. Pada tanaman yang dapat diperbanyak secara vegetatif, induksi jaringan kimera sudah cukup untuk menghasilkan kultivar baru. Pada tanaman yang diperbanyak dengan biji, mutasi harus terbawa oleh sel-sel reproduktif, dan generasi selanjutnya (biasa disebut M2, M3, dan seterusnya) diseleksi.
Pemuliaan mutasi sejak akhir abad ke-20 telah dilakukan pula dengan melakukan mutasi pada jaringan yang dibudidayakan (kultur jaringan) atau dengan bantuan teknik TILLING. TILLING membantu mutasi secara lebih terarah sehingga hasilnya lebih dapat diramalkan[25].
Hingga tahun 2006 telah dihasilkan lebih dari 2300 kultivar tanaman dengan mutasi, 566 di antaranya adalah tanaman hias[26]. Daftar kultivar dengan pemuliaan mutasi dapat diakses pada http://www-mvd.iaea.org.
Manipulasi gen dan ekspresinya
Metode-metode yang melibatkan penerapan genetika molekular masuk dalam kelompok ini, seperti teknologi antisense, peredaman gen (termasuk interferensi RNA), rekayasa gen, dan overexpression. Meskipun teknik-teknik ini telah diketahui berhasil diterapkan dalam skala percobaan, belum ada kultivar komersial yang dirilis dengan cara-cara ini.
[sunting] Transfer gen
Alat biolistik untuk transfer gen.
Transfer gen sebagai alat untuk menghasilkan keragaman genetik tanaman mulai dikembangkan sejak 1980-an, setelah orang menemukan enzim endonuklease restriksi dan mengetahui cara menyisipkan fragmen DNA organisme asing ke dalam kromosom penerima, dan diciptakannya alat sekuensing DNA. Teknik transfer gen juga memerlukan keterampilan dalam budidaya jaringan untuk mendukung proses ini. Karena memerlukan biaya sangat tinggi, hanya industri agrokimia yang sanggup menggunakan metode ini. Akibat dari hal ini berkembanglah isu "penguasaan gen" sebagai isu politik baru karena gen-gen "buatan" dan kultivar yang dihasilkan dikuasai oleh segelintir perusahaan multinasional besar.
Dalam transfer gen, fragmen DNA dari organisme lain (baik mikroba, hewan, atau tanaman), atau dapat pula gen sintetik, disisipkan ke dalam tanaman penerima dengan harapan gen "baru" ini akan terekspresi dan meningkatkan keunggulan tanaman tersebut. Strategi pemuliaan ini banyak mendapat penentangan dari kelompok-kelompok lingkungan karena kultivar yang dihasilkan dianggap membahayakan lingkungan jika dibudidayakan.
Penyisipan gen dilakukan melalui berbagai cara: transformasi dengan perantara bakteri penyebab puru tajuk Agrobacterium (terutama untuk tanaman non-monokotil), elektroporasi terhadap membran sel, biobalistik (penembakan partikel), dan transformasi dengan perantara virus.

Identifikasi dan seleksi terhadap bahan pemuliaan

Penyaringan adalah salah satu cara mengidentifikasi sifat yang dimiliki bahan pemuliaan. Galur di sebelah kanan rentan terhadap kegaraman tinggi, sedangkan di sebelah kiri toleran.
Bahan atau materi pemuliaan dengan keanekaragaman yang luas selanjutnya perlu diidentifikasi sifat-sifat khas yang dibawanya, diseleksi berdasarkan hasil identifikasi sesuai dengan tujuan program pemuliaan, dan dievaluasi kestabilan sifatnya sebelum dinyatakan layak dilepas kepada publik. Dalam proses ini penguasaan berbagai metode percobaan, metode seleksi, dan juga "naluri" oleh seorang pemulia sangat diperlukan.
 Identifikasi keunggulan
Usaha perluasan keanekaragaman akan menghasilkan banyak bahan yang harus diidentifikasi. Pertimbangan sumber daya menjadi faktor pembatas dalam menguji banyak bahan pemuliaan. Di masa lalu identifikasi dilakukan dengan pengamatan yang mengandalkan naluri seorang pemulia dalam memilih beberapa individu unggulan. Program pemuliaan modern mengandalkan rancangan percobaan yang diusahakan seekonomis tetapi seakurat mungkin. Percobaan dapat dilakukan di laboratorium untuk pengujian genotipe/penanda genetik atau biokimia, di rumah kaca untuk penyaringan ketahanan terhadap hama atau penyakit, atau lingkungan di bawah optimal, serta di lapangan terbuka. Tahap identifikasi dapat dilakukan terpisah maupun terintegrasi dengan tahap seleksi.
 Seleksi
Banyak metode seleksi yang dapat diterapkan, penggunaan masing-masing ditentukan oleh berbagai hal, seperti moda reproduksi (klonal, berpenyerbukan sendiri, atau silang), heritabilitas sifat yang menjadi target pemuliaan, serta ketersediaan biaya dan fasilitas, serta jenis kultivar yang akan dibuat.
Tanaman yang dapat diperbanyak secara klonal merupakan tanaman yang relatif mudah proses seleksinya. Keturunan pertama hasil persilangan dapat langsung diseleksi dan dipilih yang menunjukkan sifa-sifat terbaik sesuai yang diinginkan.
Seleksi massa dan seleksi galur murni dapat diterapkan terhadap tanaman dengan semua moda reproduksi. Hasil persilangan tanaman berpenyerbukan sendiri yang tidak menunjukkan depresi silang-dalam seperti padi dan gandum dapat pula diseleksi secara curah (bulk). Teknik modifikasi seleksi galur murni yang sekarang banyak dipakai adalah keturunan biji tunggal (single seed descent, SSD) karena dapat menghemat tempat dan tenaga kerja.
Terhadap tanaman berpenyerbukan silang atau mudah bersilang, seleksi berbasis nilai pemuliaan (breeding value) dianggap yang paling efektif. Berbagai metode, seperti seleksi "tongkol-ke-baris" (beserta modifikasinya), seleksi saudara tiri, seleksi saudara kandung, dan seleksi saudara kandung timbal-balik (reciprocal selection), diterapkan apabila tanaman memenuhi syarat perbanyakan seperti ini. Metode seleksi timbal-balik yang berulang (recurrent reciprocal selection) adalah program seleksi jangka panjang yang banyak diterapkan perusahaan-perusahaan besar benih untuk memperbaiki lungkang gen (gene pool) yang mereka miliki. Dua atau lebih lungkang gen perlu dimiliki dalam suatu program pembuatan varietas hibrida.
Penggunaan penanda genetik sangat membantu dalam mempercepat proses seleksi. Apabila dalam pemuliaan konvensional seleksi dilakukan berdasarkan pengamatan langsung terhadap sifat yang diamati, aplikasi pemuliaan tanaman dengan penanda (genetik) dilakukan dengan melihat hubungan antara alel penanda dan sifat yang diamati. Agar supaya teknik ini dapat dilakukan, hubungan antara alel/genotipe penanda dengan sifat yang diamati harus ditegakkan terlebih dahulu.
Evaluasi (pengujian)
Bahan-bahan pemuliaan yang telah terpilih harus dievaluasi atau diuji terlebih dahulu dalam kondisi lapangan karena proses seleksi pada umumnya dilakukan pada lingkungan terbatas dan dengan ukuran populasi kecil. Evaluasi dilakukan untuk melihat apakah keunggulan yang ditunjukkan sewaktu seleksi juga dipertahankan dalam kondisi lahan pertanian terbuka dan dalam populasi besar. Selain itu, bahan pemuliaan terpilih juga akan dibandingkan dengan kultivar yang sudah lebih dahulu dirilis. Calon kultivar yang tidak mampu mengungguli kultivar yang sudah lebih dahulu dirilis akan dicoret dalam proses ini. Apabila bahan pemuliaan lolos tahap evaluasi, ia akan dipersiapkan untuk dirilis sebagai kultivar baru.
Dalam praktik, biasanya ada tiga jenis evaluasi atau pengujian yang diterapkan sebelum suatu kultivar dilepas, yaitu uji pendahuluan (melibatkan 20-50 bahan pemuliaan terseleksi), uji daya hasil pendahuluan (maksimum 20), dan uji multilingkungan/multilokasi (atau uji daya hasil lanjutan, biasanya kurang dari 10). Semakin lanjut tahap pengujian, ukuran plot percobaan semakin besar. Setiap negara memiliki aturan tersendiri mengenai bakuan untuk masing-masing jenis pengujian dan jenis tanaman.
Calon kultivar yang akan dirilis/dilepas ke publik diajukan kepada badan pencatat (registrasi) perbenihan untuk disetujui pelepasannya setelah pihak yang akan merilis memberi informasi mengenai ketersediaan benih yang akan diperdagangkan.
Perbenihan
Benih kultivar unggul yang dirilis dikuasai oleh pemulia yang merakitnya dan hak ini dinamakan "perlindungan varietas" atau "hak pemulia" (breeder's right). Benih di tangan pemulia disebut benih pemulia ("breeder seed") dan terbatas jumlahnya. Benih pemulia tersedia hanya terbatas dan perbanyakannya sepenuhnya dikontrol oleh pemulia.

Kritik atas program pemuliaan tanaman

Lihat pula artikel Tanaman transgenik
Pemuliaan tanaman masih menjadi salah satu tumpuan dalam usaha penyediaan pangan dunia[27]; meskipun demikian, sejumlah isu dan keprihatinan telah dilemparkan terhadap program pemuliaan tanaman.

Penyempitan keanekaragaman genetik

Penyempitan keanekaragaman genetik merupakan isu mendasar yang telah disuarakan dan disadari sejak awal pemuliaan tanaman modern. Akibat fokus pada peningkatan produksi dan mutu hasil, sebagian kecil variasi genetik mendominasi pertanaman. Seleksi yang dilakukan dalam program pemuliaan tanaman mengakibatkan sempitnya keragaman genetik tanaman yang dibudidayakan. Keadaan diperparah dengan sedikitnya pilihan kultivar yang ditanam petani karena tuntutan konsumen akan keseragaman produk. Tanaman menjadi mudah terserang hama dan penyakit, karena organisme pengganggu lebih tinggi plasitisitas fenotipiknya daripada tanaman budidaya. Beberapa wabah besar telah terjadi akibat hal ini, seperti hawar kentang, hawar jagung, dan tungro pada padi (lewat perantara wereng coklat). Suatu kajian terhadap kandungan gizi sejumlah kultivar tanaman sayuran kebun dari tahun 1950 sampai 1999 menunjukkan efek kompensasi penurunan sejumlah kandungan gizi akibat fokus diberikan kepada hasil, termasuk 6% protein dan 38% riboflavin (vitamin B2)[28]. Sempitnya latar belakang genetik juga akan menyebabkan stagnasi dalam program pemuliaan. Untuk mengatasi hal ini, program pemuliaan modern memasukkan persilangan dengan kerabat jauh atau bahkan spesies yang berbeda untuk memperluas variabilitas. Selain itu, persyaratan kestabilan penampilan untuk sejumlah spesies tanaman diperlunak sehingga kultivar yang bersifat spesifik lokasi juga dapat disetujui untuk dirilis.

Penguasaan plasma nutfah

Kebanyakan kultivar tanaman masa kini dihasilkan oleh sebagian kecil perusahaan benih, beberapa di antaranya bermodal kuat, transnasional, dan menguasai teknologi tinggi. Masyarakat adat, yang sebelum terjadi industrialisasi pertanian menguasai benih berangsur-angsur terdesak perannya dan petani lambat-laun tergantung pada pasokan benih dari industri benih. Hal ini dipandang tidak adil oleh anggota gerakan anti-globalisasi. Keadaan ini sedikit banyak merupakan akibat dari Revolusi Hijau, yang berfokus pada peningkatan hasil, dan pemberlakuan prinsip Perlindungan Varietas Tanaman (Hak Cipta Pemulia Tanaman).
Salah satu pemecahan yang ditawarkan adalah menggunakan konsep pemuliaan tanaman partisipatif (participatory plant breeding). Melalui cara ini, plasma nutfah tetap dikuasai oleh masyarakat pemilik plasma nutfah, tetapi industri benih juga mendapat keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik ini.



Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More