SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dewan Pimpinan Wilayah Sumatera Utara.

BAGI DPD APKASINDO SE SUMATERA UTARA

Data Contact Person DPD APKASINDO Se Sumatera Utara Sudah Dapat di Lihat Pada Tab Database >> Data DPD APKASINDO.

www.apkasindo.blogspot.com

Segera Hadir Blog DPP APKASINDO.

BAGI DPD APKASINDO SE SUMATERA UTARA

Data Contact Person DPD APKASINDO Se Sumatera Utara Sudah Dapat di Lihat Pada Tab Database >> Data DPD APKASINDO.

BAGI DPD APKASINDO SE SUMATERA UTARA

Data Contact Person DPD APKASINDO Se Sumatera Utara Sudah Dapat di Lihat Pada Tab Database >> Data DPD APKASINDO.

Jumat, 27 Mei 2011

Enam Arahan dan Saran Presiden SBY Untuk Industri Kelapa Sawit Nasional

Berikut arahan dan saran Presiden SBY seperti yang dikutip dan disampaikan kembali oleh Ketua Umum GAPKI Joefly J. Bahroeny saat perayaan "Semarak 100 Tahun Industri Kelapa Sawit Indonesia" di Medan 29 Maret 2011 :
  1. Presiden telah dan akan tetap berdiri paling depan dan pasang badan dalam membela kepentingan industri nasional termasuk industri kelapa sawit terutama atas berbagai tuduhan yang tidak benar dari dunia internasional. Namun Presiden mengharapkan agar para pelaku usaha benar-benar mematuhi berbagai ketentuan dan peraturan pemerintah.
  2. Presiden juga mendukung agar berbagai peraturan terutama kaitannya dengan perpajakan tidak memberatkan pengusaha. Bahkan dalam kesempatan tersebut Presiden mencatat dan meminta agar para menteri melakukan follow up atas keberatan industri kelapa sawit terhadap PPN bagi perusahaan terintegrasi dan pengenaan Bea Keluar (BK) yang progresif dan tidak adil.
  3. Presiden juga menyatakan bahwa kebijakan moratorium tidak akan mematikan perkembangan dan perluasan industri sawit. Presiden menyatakan pendataan dan penataan lahan-lahan terdegradasi akan terus dilakukan dan digunakan untuk kepentingan dan aktifitas ekonomi masyarakat.
  4. Presiden juga menyatakan bahwa penyelesaian persoalan tata ruang propinsi akan dilakukan secara bijaksana dan tidak akan merugikan investasi yang telah dilakukan investor selama itu dilakukan dengan memenuhi peraturan yang berlaku saat ini.
  5. Presiden meminta agar kita benar-benar memiliki komitmen menerapkan prinsip green development (sutainability) dalam operasi perusahaan.
  6. Presiden juga mengharapkan agar kita tidak puas hanya sekedar menjadi penghasil terbesar CPO tapi juga harus menjadi dan memiliki industri hilir yang handal dan kuat dimana nilai tambahnya dapat diperoleh untuk kepentingan ekonomi bangsa

                                    Menghadap Presiden : Sejumlah pengurus GAPKI menghadap 
                                                presiden SBY berkaitan sejumlah persoalan yang dihadapi 
                                               industri kelapa sawit. Pesoalan tata ruang dan bea keluar ekspor 
                                              CPO yang menjadi topik pembicaraan.

sumber : Tropis, Edisi 3/ Tahun IV/ Mei 2011 

Kamis, 26 Mei 2011

Tujuh Agenda Perjuangan APKASINDO

  1. permentan Nomor 17/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun perlu di sempurnakan, sehingga lebih adil dan tidak merugikan petani pekebun kelapa sawit;
  2. pemerintah c.q. Badan Pertanahan Nasional agar meniadakan Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan mempermudah proses sertifikasi lahan petani, khususnya petani kelapa sawit swadaya, sehingga mempermudah petani untuk mendapatkan kredit dari perbankan;
  3. pemerintah c.q. Menteri Keuangan agar meninjau kembali aturan tentang Biaya Keluar (BK) ekspor CPO progresif yang saat ini sudah mencapai 25% dari Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO, karena berdampak langsung terhadap harga pembelian TBS petani-pekebun oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS);
  4. minimal sebesar 25% penerimaan pemerintah yang bersumber dari Pajak Ekspor (PE) atau BK produk minyak sawit agar dikembalikan kepada petani pekebun kelapa sawit, antara lain dalam bentuk pembangunan infrastruktur kebun sawit petani, membantu biaya sertifikasi lahan/kebun petani, pembiayaan peremajaan kebun petani serta penguatan kelembagaan petani, dan lain sebagainya;
  5. pemerintah dan perusahaan besar perkebunan, baik BUMN (PBN) maupun swasta (PBS), agar terlibat aktif dan memberikan dukungan terhadap kegiatan pembinaan petani pekebun, yang diaktualisasikan dalam bentuk kerjasama dengan APKASINDO dimasing-masing wilayah kerjanya;
  6. memperjuangkan pupuk bersubsidi bagi petani pekebun kelapa sawit;
  7. mendesak DPR agar mengawasi pelaksanaan Permentan No. 26 Tahun 2007 tentang izin Usaha Perkebunan, yang pada intinya mewajibkan setiap perusahaan perkebunan harus membangun kebun rakyat minimal 20%, karena dari pemantauan APKASINDO di lapangan masih banyak perusahaan perkebunan yang belum melaksanakan Permentan tersebut.

Rabu, 25 Mei 2011

Pemuliaan Tanaman

Pemuliaan tanaman adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk mengubah susunan genetik tanaman, baik individu maupun secara bersama-sama (populasi) dengan tujuan tertentu. Pemuliaan tanaman kadang-kadang disamakan dengan penangkaran tanaman, kegiatan memelihara tanaman untuk memperbanyak dan menjaga kemurnian; pada kenyataannya, kegiatan penangkaran adalah sebagian dari pemuliaan. Selain melakukan penangkaran, pemuliaan berusaha memperbaiki mutu genetik sehingga diperoleh tanaman yang lebih bermanfaat.
Pengetahuan mengenai perilaku biologi tanaman dan pengalaman dalam budidaya tanaman merupakan hal yang paling menentukan keberhasilan usaha pemuliaan, sehingga buku-buku teks seringkali menyebut pemuliaan tanaman sebagai seni dan ilmu memperbaiki keturunan tanaman demi kemaslahatan manusia[1]. Di perguruan tinggi, pemuliaan tanaman biasa dianggap sebagai cabang agronomi (ilmu produksi tanaman) atau genetika terapan, karena sifat multidisiplinernya.
Pelaku pemuliaan tanaman disebut pemulia tanaman. Karena pengetahuannya, seorang pemulia tanaman biasanya juga menguasai agronomi dan genetika. Tugas pokok seorang pemulia tanaman adalah merakit kultivar yang lebih baik[2]: memiliki ciri-ciri yang khas dan lebih bermanfaat bagi penanamnya. Kultivar juga dikenal awam sebagai varietas, meskipun keduanya tidak selalu sama artinya.
Aplikasi kultivar unggul padi dan gandum merupakan salah satu komponen penting dalam Revolusi Hijau[3], suatu paket penggunaan teknologi modern secara massal untuk menggenjot produksi pangan dunia, khususnya gandum roti, jagung, dan padi. Dilihat dari sudut pandang agribisnis, pemuliaan tanaman merupakan bagian dari usaha perbenihan yang menempati posisi awal/hulu dari keseluruhan mata rantai industri pertanian.

Tujuan dalam pemuliaan tanaman

Tujuan dalam pemuliaan tanaman dapat bersifat spesifik. Tanaman di bagian kanan atas warna daunnya menjadi merah apabila tempat tumbuhnya mengandung nitrogen dioksida. Sifat ini dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan ranjau yang melepaskan senyawa tersebut.
Tujuan dalam program pemuliaan tanaman didasarkan pada strategi jangka panjang untuk mengantisipasi berbagai perubahan arah konsumen atau keadaan lingkungan. Pemuliaan padi, misalnya, pernah diarahkan pada peningkatan hasil, tetapi sekarang titik berat diarahkan pada perakitan kultivar yang toleran terhadap kondisi ekstrem (tahan genangan, tahan kekeringan, dan tahan lahan bergaram) karena proyeksi perubahan iklim dalam 20-50 tahun mendatang. Tujuan pemuliaan akan diterjemahkan menjadi program pemuliaan.
Ada dua tujuan umum dalam pemuliaan tanaman: peningkatan kepastian terhadap hasil yang tinggi dan perbaikan kualitas produk yang dihasilkan[4].
Peningkatan kepastian terhadap hasil biasanya diarahkan pada peningkatan daya hasil, cepat dipanen, ketahanan terhadap organisme pengganggu atau kondisi alam yang kurang baik bagi usaha tani, serta kesesuaian terhadap perkembangan teknologi pertanian yang lain. Hasil yang tinggi menjamin terjaganya persediaan bahan mentah untuk diolah lebih lanjut. Tanaman yang berumur singkat (genjah) akan memungkinkan efisiensi penggunaan lahan yang lebih tinggi. Ketahanan terhadap organisme pengganggu atau kondisi alam yang tidak mendukung akan membantu pelaku usaha tani menghindari kerugian besar akibat serangan hama, penyakit, serta bencana alam. Beberapa tanaman tertentu yang dalam usaha budidayanya melibatkan banyak peralatan mekanik memerlukan populasi yang seragam atau khas agar dapat sesuai dengan kemampuan mesin dalam bekerja.
Usaha perbaikan kualitas produk adalah tujuan utama kedua. Tujuan semacam ini dapat diarahkan pada perbaikan ukuran, warna, kandungan bahan tertentu (atau penambahan serta penghilangan substansi tertentu), pembuangan sifat-sifat yang tidak disukai, ketahanan simpan, atau keindahan serta keunikan. Perkembangan bioteknologi di akhir abad ke-20 telah membantu pemuliaan terhadap tanaman yang mampu menghasilkan bahan pangan dengan kandungan gizi tambahan (pangan fungsional) atau mengandung bahan pengobatan tertentu (pharmcrops, kegiatannya dikenal sebagai crop pharming)[5]

Sejarah

Kegiatan pemuliaan tanaman dapat dikatakan sebagai tekanan evolusi yang sengaja dilakukan oleh manusia. Pada masa prasejarah, pemuliaan tanaman telah dilakukan orang sejak dimulainya domestikasi tanaman, namun dilakukan tanpa dasar ilmu yang jelas. Sisa-sisa biji-bijian dari situs-situs peninggalan arkeologi membantu menyingkap masa prasejarah pemuliaan tanaman. Catatan-catatan pertama dalam jumlah besar mengenai berbagai jenis tanaman diperoleh dari karya penulis-penulis Romawi, terutama Plinius.

Domestikasi

Perkembangan bunga betina jagung dari teosinte (kiri) tanpa tongkol menjadi jagung dengan tongkol dan banyak baris.
Para petani di masa-masa awal pertanian selalu menyimpan sebagian benih untuk pertanaman berikutnya dan tanpa sengaja melakukan pemilihan (seleksi) terhadap tanaman yang kuat karena hanya tanaman yang kuat mampu bertahan hingga panen[6]. Sifat pertama dalam budidaya tanaman serealia (bijirin) yang termuliakan adalah ukuran bulir yang menjadi lebih besar dan menurunnya tingkat kerontokan bulir pada tanaman budidaya apabila dibandingkan dengan moyang liarnya[7]. Beberapa petunjuk untuk hal ini dapat diperkirakan dari temuan sejumlah sisa bulir jelai dan einkorn di lembah Sungai Eufrat dan Sungai Tigris (paling tua 9000 SM) serta padi di daerah aliran Sungai Yangtze[7]. Temuan serupa untuk biji polong-polongan berasal dari India utara dan kawasan Afrika Sub-Sahara[7].
Perkembangan seleksi lebih lanjut telah menunjukkan kesengajaan dan terkait dengan tingkat kebudayaan masyarakat penanam. Bulir jagung terseleksi dari teosinte yang bulirnya keras serta terbungkus sekam, lalu menjadi jagung bertongkol namun bulirnya masih terbungkus sekam, dan akhirnya bentuk yang berbulir tanpa sekam dan lebih mudah digiling menjadi semakin banyak ditemukan. Beberapa petunjuk yang sama juga terlihat dari temuan-temuan untuk bulir gandum roti dan jelai[7]. Contoh lainnya adalah munculnya padi ketan serta jagung ketan di Asia Timur dan Asia Tenggara[7]. Hanya dari wilayah inilah muncul jenis-jenis ketan dari delapan spesies dan menunjukkan preferensi akan sifat ini.

Pemuliaan di masa pramodern

Kebudayaan Romawi Kuna (abad ke-9 SM – abad ke-5 Masehi) meninggalkan banyak tulisan mengenai keanekaragaman tanaman budidaya dan juga menyebut berbagai variasi setiap jenis. Cato dengan De Agri Cultura[8] dan Plinius (Tua) dengan Naturalis Historia, misalnya, memberi banyak informasi mengenai variasi tanaman dan khasiat masing-masing bagi kesehatan.
Kitab-kitab suci dari Asia Barat, seperti Al-Qur'an[9], juga menyebut tentang variasi pada beberapa tanaman. Hal ini menunjukkan telah ada kesadaran dalam memilih bahan tanam dan pemilihan kultivar tertentu dengan target konsumen yang berbeda-beda.
Pada awal milenium pertama dan paruh pertama milenium kedua telah terjadi pertukaran komoditi pertanian yang berakibat migrasi sejumlah bahan pangan. Pisang menyebar dari Asia Tenggara maritim ke arah barat hingga pantai timur Afrika. Berbagai tanaman rempah, seperti merica dan ketumbar, dan tanaman "suci", seperti randu alas dan beringin, menyebar dari India ke Nusantara. Namun demikian, pertukaran tanaman yang intensif terjadi setelah penjelajahan orang Eropa.

Kolonialisme dan penyebaran tanaman "eksotik"

Bermacam-macam variasi kentang. Kentang didatangkan dari Amerika Selatan pada abad ke-15 ke Eropa, lalu menyebar ke Asia.
Meskipun penyebaran tanaman telah terjadi sebelum kolonialisme, Zaman Penjelajahan (sejak abad ke-14) dan kolonialisme (penjajahan) yang menyusulnya telah membawa pengaruh yang dramatis dalam budidaya tanaman.
Segera setelah orang Spanyol dan Portugis menaklukkan Amerika dan menemukan jalur laut ke Tiongkok, terjadi pertukaran berbagai tanaman dari Dunia Baru ke Dunia Lama, dan sebaliknya. Kopi yang berasal Afrika, misalnya, dibawa ke Amerika dan Asia (dibawa ke Nusantara pada abad ke-18 awal[10]). Kelak (abad ke-18) tebu juga menyebar dari Asia Tenggara menuju Amerika tropis, seperti Karibia dan Guyana. Namun demikian, yang lebih intensif adalah penyebaran berbagai tanaman budidaya penduduk asli Amerika ke tempat lain: jagung, kentang, tomat, cabai, kakao, para (karet), serta berbagai tanaman buah dan hias.
Pada abad ke-18, terjadi gelombang rasionalisasi di Eropa sebagai dampak Masa Pencerahan. Orang-orang kaya di Eropa (dan pada tingkat tertentu juga di Tiongkok dan Jepang) mulai meminati koleksi tanaman eksotik dan kebun-kebun kastil mereka yang luas menjadi tempat koleksi berbagai tanaman dari negeri asing. Pada abad ke-18 mulai berkembang perkebunan-perkebunan monokultur (satu macam tanaman pada satu petak lahan). Berbagai tanaman penghasil komoditi dagang utama dunia seperti tebu, teh, kopi, lada, dan tarum dibudidayakan di berbagai tanah jajahan, termasuk Kepulauan Nusantara, tentu saja dengan melibatkan perbudakan atau tanam paksa. Pada abad ini pula cengkeh dan pala mulai ditanam di luar Maluku, sehingga harganya menurun dan tidak lagi menjadi rempah-rempah yang eksklusif.
Pola pertanaman monokultur yang diterapkan pada abad ke-18 dan ke-19 di Eropa dan perkebunan-perkebunan di berbagai negeri jajahan memakan korban dengan terjadinya dua wabah besar: serangan hawar kentang Phytophthora infestans yang menyebabkan Wabah Kelaparan Besar di Irlandia, Skotlandia serta beberapa wilayah Eropa lainnya sejak 1845 akibat dan hancurnya perkebunan kopi arabika dan liberika akibat serangan karat daun Hemileia vastatrix di perkebunan dataran rendah Afrika dan Asia sejak 1861 sampai akhir abad ke-19. Pada tahun 1880-an juga meluas wabah penyakit sereh di berbagai perkebunan tebu dunia[11].
Para botaniwan dan ahli pertanian kemudian segera mengambil pelajaran dari kasus-kasus ini untuk menyediakan bahan tanam yang tahan terhadap serangan organisme pengganggu, sekaligus memberikan hasil yang lebih baik. Usaha-usaha perbaikan mutu genetik tanaman perkebunan mulai dilakukan pada akhir abad ke-19 di beberapa daerah koloni, termasuk Hindia-Belanda.
Kebun penelitian gula (tebu) pertama kali didirikan di Semarang tahun 1885 (Proefstation Midden Java), setahun kemudian didirikan pula di Kagok, Jawa Barat, dan menyusul di Pasuruan tanggal 8 Juli 1887 (Proefstation Oost Java, POJ). Salah satu misinya adalah mengatasi kerugian akibat penyakit sereh. Pada tahun 1905 seluruh penelitian gula/tebu dipusatkan di Pasuruan (sekarang menjadi P3GI)[12]. Berbagai klon tebu hasil lembaga penelitian ini pernah termasuk sebagai kultivar tebu paling unggul di dunia di paruh pertama abad ke-20, seperti POJ 2364, POJ 2878, dan POJ 3016 sehingga menjadikan Jawa sebagai produsen gula terbesar di belahan timur bumi[13].
Pusat Penelitian Karet didirikan di Sungei Putih, Sumatera Utara, oleh AVROS, dan pemuliaan para dimulai sejak 1910[14]. AVROS juga mendirikan Pusat Penelitian Kelapa Sawit di Marihat, Sumatera Utara pada tahun 1911, meskipun tanaman ini sudah sejak 1848 didatangkan ke Medan/Deli dan Bogor.

Abad ke-20: Pemuliaan berbasis ilmu

Awal abad ke-20 menjadi titik perkembangan pemuliaan tanaman yang berbasis ilmu pengetahuan. Perkembangan pesat dalam botani, genetika, agronomi, dan statistika tumbuh sebagai motor utama modernisasi pemuliaan tanaman sejak awal abad ke-20 hingga 1980-an. Mekanisasi pertanian di dunia yang meluas sejak 1950-an memungkinkan penanaman secara massal dengan tenaga kerja minimal. Ketika biologi molekular tumbuh pesat sejak 1970-an, pemuliaan tanaman juga mengambil manfaat darinya, dan mulailah perkembangan pemuliaan tanaman yang didukung ilmu tersebut sejak 1980-an. Bioinformatika juga perlahan-lahan mengambil peran statistika sebagai pendukung utama dalam analisis data eksperimen.
Gelombang pertama: pemuliaan konvensional
Jagung hibrida telah mendominasi lahan jagung di Amerika Serikat sejak 1930-an, sementara di Indonesia hingga 2007 masih di bawah 50 persen[15].
Penemuan kembali Hukum Pewarisan Mendel pada tahun 1900, eksperimen terhadap seleksi atas generasi hasil persilangan dan galur murni oleh Wilhelm Johannsen (dekade pertama abad ke-20), peletakan dasar Hukum Hardy-Weinberg (1908 dan 1909), dan penjelasan pewarisan kuantitatif berbasis Hukum Mendel oleh Sir Ronald Fisher pada tahun 1916 memberikan banyak dasar-dasar teoretik terhadap berbagai fenomena yang telah dikenal dalam praktik dan menjadi dasar bagi aplikasi ilmu dan teknologi dalam perbaikan kultivar.
Perkembangan yang paling revolusioner dalam genetika dan pemuliaan tanaman adalah ditemukannya cara perakitan varietas hibrida pada tahun 1910-an setelah serangkaian percobaan persilangan galur murni di Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19 oleh Edward M. East, George H. Shull dan Donald F. Jones yang memanfaatkan gejala heterosis. Ditemukannya teknologi mandul jantan di tahun 1940-an semakin meningkatkan efisiensi perakitan varietas hibrida.
Cara budidaya yang semakin efisien dan mendorong intensifikasi dalam pertanian, dengan penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan mekanisasi pertanian, memunculkan lahan pertanian dengan kebutuhan benih berjumlah besar dan mulai menghasilkan "raksasa" dalam industri perbenihan. Tumbuhnya industri perbenihan juga dimungkinkan sejak adanya varietas hibrida karena benih yang harus dibeli petani memungkinkan industri perbenihan untuk tumbuh. Dari sini mulai muncul pula isu perlindungan varietas tanaman. Di Amerika Serikat muncul Dekalb dan Pioneer Hi-Bred sebagai pemain utama dalam industri benih. Di Jerman, negara yang telah memiliki banyak penghasil benih sejak abad ke-19, muncul KWS Saat dan NPZ sebagai pemain utama di bidang perbenihan tanaman serealia dan pakan ternak hijauan, khususnya di Eropa. Di Taiwan dan Jepang juga berkembang perusahaan benih yang menguasai pasar regional Asia, seperti Sakata (Jepang), East West Seed dan Known You Seed (Taiwan).

Seusai Perang Dunia II (PD II) perbaikan genetik gandum yang didukung Yayasan Rockefeller di lembaga penelitian yang didanainya di Meksiko sebagai bagian dari paket teknologi untuk melipatgandakan hasil gandum menunjukkan keberhasilan. Strategi ini, yang dikonsep oleh Norman Borlaug, kemudian dicoba untuk diterapkan pada tanaman pokok lain, khususnya padi dan beberapa serealia minor lainnya (seperti sorgum dan milet) dan didukung oleh FAO. Revolusi dalam teknik bercocok tanam ini kelak dikenal secara iinformal sebagai Revolusi Hijau. Untuk mendukung revolusi ini banyak dibentuk lembaga-lembaga penelitian perbaikan tanaman bertaraf dunia seperti CIMMYT (di Meksiko, 1957; sebagai kelanjutan dari lembaga milik Yayasan Rockefeller), IRRI (di Filipina, 1960), ICRISAT (di Andhra Pradesh, India, 1972), dan CIP (di La Molina, Peru). Lembaga-lembaga ini sekarang tergabung dalam CGIAR dan koleksi serta hasil-hasil penelitiannya bersifat publik.
Akhir PD II juga menjadi awal berkembangnya teknik-teknik baru dalam perluasan latar genetik tanaman. Mutasi buatan, yang tekniknya dikenal sejak 1920-an, mulai luas dikembangkan pada tahun 1950-an sampai dengan 1970-an sebagai cara untuk menambahkan variabilitas genetik. Pemuliaan dengan menggunakan teknik mutasi buatan ini dikenal sebagai pemuliaan mutasi. Selain mutasi, teknik perluasan latar genetik juga menggunakan teknik poliploidisasi buatan menggunakan kolkisin, yang dasar-dasarnya diperoleh dari berbagai percobaan oleh Karpechenko pada tahun 1920-an. Tanaman poliploid biasanya berukuran lebih besar dan dengan demikian memiliki hasil yang lebih tinggi.
Gelombang kedua: Integrasi bioteknologi dalam pemuliaan
Daun dari kacang tanah yang telah direkayasa dengan sisipan gen cry dari Bacillus thuringiensis (bawah) tidak disukai ulat penggerek.
Gelombang bioteknologi, yang memanfaatkan berbagai metode biologi molekuler, yang mulai menguat pada tahun 1970-an mengimbas pemuliaan tanaman. Tanaman transgenik pertama dilaporkan hampir bersamaan pada tahun 1983[16], yaitu tembakau, Petunia, dan bunga matahari. Selanjutnya muncul berbagai tanaman transgenik dari berbagai spesies lain; yang paling populer dan kontroversial adalah pada jagung, kapas, tomat, dan kedelai yang disisipkan gen-gen toleran herbisida atau gen ketahanan terhadap hama tertentu. Perkembangan ini memunculkan wacana pemberian hak paten terhadap metode, gen, serta tumbuhan terlibat dalam proses rekayasa ini. Kalangan aktivis lingkungan dan sebagian filsuf menilai hal ini kontroversial dengan memunculkan kritik ideologis dan etis terhadap praktik ini sebagai reaksinya, terutama karena teknologi ini dikuasai oleh segelintir perusahaan multinasional. Isu politik, lingkungan, dan etika, yang sebelumnya tidak pernah masuk dalam khazanah pemuliaan tanaman, mulai masuk sebagai pertimbangan baru.
Sebagai jawaban atas kritik terhadap tanaman transgenik, pemuliaan tanaman sekarang mengembangkan teknik-teknik bioteknologi dengan risiko lingkungan yang lebih rendah seperti SMART Breeding ("Pemuliaan SMART")[17][18] dan Breeding by Design[19], yang mendasarkan diri pada pemuliaan dengan penanda[20], dan juga penggunaan teknik-teknik pengendalian regulasi ekspresi gen seperti peredaman gen dan, kebalikannya, pengaktifan gen.
Meskipun penggunaan teknik-teknik terbaru telah dilakukan untuk memperluas keanekaragaman genetik tanaman, hampir semua produsen benih, baik yang komersial maupun publik, masih mengandalkan pada pemuliaan tanaman "konvensional" dalam berbagai programnya.
Di arah yang lain, gerakan pemuliaan tanaman "gotong-royong" atau partisipatif (participatory plant breeding) juga menjadi jawaban atas kritik hilangnya kekuasaan petani atas benih. Gerakan ini tidak mengarah pada perbaikan hasil secara massal, tetapi lebih mengarahkan petani, khususnya yang masih tradisional, untuk tetap menguasai benih yang telah mereka tanam secara turun-temurun sambil memperbaiki mutu genetiknya. Perbaikan mutu genetik tanaman ditentukan sendiri arahnya oleh petani dan pemulia membantu mereka dalam melakukan programnya sendiri[21]. Istilah "gotong-royong" (participatory) digunakan untuk menggambarkan keterlibatan semua pihak (petani, LSM, pemulia, dan pedagang benih) dalam kegiatan produksi benih dan pemasarannya. Gerakan ini sangat memerlukan dorongan dari organisasi non-pemerintah (LSM), khususnya pada masyarakat tidak berorientasi komersial.

Strategi dasar pemuliaan tanaman

Pemuliaan tanaman mencakup tindakan penangkaran koleksi bahan/material pemuliaan (dikenal pula sebagai plasma nutfah atau germplasms), penciptaan kombinasi sifat-sifat baru (biasanya melalui persilangan yang intensif), dan seleksi terhadap bahan yang dimiliki. Semua tindakan ini dilakukan setelah tujuan spesifik program pemuliaan ditentukan sebelumnya[22].

Koleksi plasma nutfah

Koleksi plasma nutfah dapat disimpan dalam bank/gudang benih.
Plasma nutfah adalah bahan baku dasar pemuliaan karena di sini tersimpan berbagai keanekaragaman sifat yang dimiliki oleh masing-masing nomor koleksi (aksesi). Tanpa keanekaragaman, perbaikan sifat tidak mungkin dilakukan.
Usaha pencarian plasma nutfah baru berarti eksplorasi ke tempat-tempat yang secara tradisional menjadi pusat keanekaragaman hayati (atau hutan) atau dengan melakukan pertukaran koleksi. Lembaga-lembaga publik seperti IRRI dan CIMMYT menyediakan koleksi plasma nutfah bagi publik secara bebas bea, namun untuk kepentingan bisnis diatur oleh perjanjian antara pihak-pihak yang terkait.

Peningkatan keragaman (variabilitas) genetik

Keanekaragaman dalam plasma nutfah merupakan bahan dasar untuk perakitan kultivar baru.
Apabila aksesi tidak ada satu pun yang memiliki suatu sifat yang diinginkan, pemulia tanaman melakukan beberapa cara untuk merakit individu yang memiliki sifat ini. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah introduksi bahan koleksi, persilangan, manipulasi kromosom, mutasi dengan paparan radioaktif atau bahan kimia tertentu, penggabungan (fusi) protoplas/inti sel, manipulasi urutan gen, transfer gen, dan manipulasi regulasi gen.
Empat cara yang disebut terakhir kerap dianggap sebagai bagian dari bioteknologi pertanian (green biotechnology). Tiga cara yang terakhir adalah bagian dari rekayasa genetika dan dianggap sebagai "pemuliaan tanaman molekular" karena menggunakan metode-metode biologi molekular[23].
 Introduksi
Mendatangkan bahan tanam dari tempat lain (introduksi) merupakan cara paling sederhana untuk meningkatkan keragaman (variabilitas) genetik. Seleksi penyaringan (screening) dilakukan terhadap koleksi plasma nutfah yang didatangkan dari berbagai tempat dengan kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Pengetahuan tentang pusat keanekaragaman (diversitas) tumbuhan penting untuk penerapan cara ini. Keanekaragaman genetik untuk suatu spesies tidaklah sama di semua tempat di dunia. N.I. Vavilov, ahli botani dari Rusia, memperkenalkan teori "pusat keanekaragaman" (centers of origin) bagi keanekaragaman tumbuhan.
Contoh pemuliaan yang dilakukan dengan cara ini adalah pemuliaan untuk berbagai jenis tanaman buah asli Indonesia, seperti durian dan rambutan, atau tanaman pohon lain yang mudah diperbanyak secara vegetatif, seperti ketela pohon dan jarak pagar. Introduksi dapat dikombinasi dengan persilangan.
 Persilangan
Malai padi dibungkus dengan kertas pelindung untuk mencegah penyerbukan yang tidak dikehendaki. Persilangan masih menjadi tulang punggung industri perbenihan sampai saat ini.
Persilangan merupakan cara yang paling populer untuk meningkatkan variabilitas genetik, bahkan sampai sekarang karena murah, efektif, dan relatif mudah dilakukan. Berbagai galur hasil rekayasa genetika pun biasanya masih memerlukan beberapa kali persilangan untuk memperbaiki penampilan sifat-sifat barunya.
Pada dasarnya, persilangan adalah manipulasi komposisi gen dalam populasi. Keberhasilan persilangan memerlukan prasyarat pemahaman akan proses reproduksi tanaman yang bersangkutan (biologi bunga). Berbagai macam skema persilangan telah dikembangkan (terutama pada pertengahan abad ke-20) dan menghasilkan sekumpulan metode pemuliaan yang lazim diajarkan di perkuliahan bagi mahasiswa pemuliaan tanaman tingkat sarjana.
Walaupun secara teknis relatif mudah, keberhasilan persilangan perlu mempertimbangkan ketepatan waktu berbunga (sinkronisasi), keadaan lingkungan yang mendukung, kemungkinan inkompatibilitas, dan sterilitas keturunan. Keterampilan teknis dari petugas persilangan juga dapat berpengaruh pada keberhasilan persilangan. Pada sejumlah tanaman, seperti jagung, padi, dan Brassica napus (rapa), penggunaan teknologi mandul jantan dapat membantu mengurangi hambatan teknis karena persilangan dapat dilakukan tanpa bantuan manusia.
Semua varietas unggul padi, jagung, dan kedelai yang ditanam di Indonesia saat ini dirakit melalui persilangan yang diikuti dengan seleksi.
Perkembangan dalam biologi molekular memunculkan metode-metode pemuliaan baru yang dibantu dengan penanda genetik dan dikenal sebagai pemuliaan dengan penanda.
 Manipulasi kromosom
Yang termasuk dalam cara ini adalah semua manipulasi ploidi, baik poliploidisasi (penggandaan genom) maupun pengubahan jumlah kromosom. Gandum roti dikembangkan dari penggabungan tiga genom spesies yang berbeda-beda. Semangka tanpa biji dikembangkan dari persilangan semangka tetraploid dengan semangka diploid. Pengubahan jumlah kromosom (seperti pembuatan galur trisomik atau monosomik) biasanya dilakukan sebagai alat analisis genetik untuk menentukan posisi gen-gen yang mengatur sifat tertentu. Galur dengan jumlah kromosom yang tidak berimbang seperti itu mengalami hambatan dalam pertumbuhannya.
Teknik pemuliaan ini sebenarnya juga mengandalkan persilangan dalam praktiknya.
 Pemuliaan dengan bantuan mutasi
Pemuliaan tanaman dengan bantuan mutasi (dikenal pula sebagai pemuliaan tanaman mutasi) adalah teknik yang pernah cukup populer untuk menghasilkan variasi-variasi sifat baru. Teknik ini pertama kali diterapkan oleh Stadler pada tahun 1924[24] tetapi prinsip-prinsip pemanfaatannya untuk pemuliaan tanaman diletakkan oleh Ă…ke Gustafsson dari Swedia.[24]. Tanaman dipaparkan pada sinar radioaktif dari isotop tertentu (biasanya kobal-60) dengan dosis rendah sehingga tidak mematikan tetapi mengubah sejumlah basa DNA-nya. Mutasi pada gen akan dapat mengubah penampilan tanaman. Pada tanaman yang dapat diperbanyak secara vegetatif, induksi jaringan kimera sudah cukup untuk menghasilkan kultivar baru. Pada tanaman yang diperbanyak dengan biji, mutasi harus terbawa oleh sel-sel reproduktif, dan generasi selanjutnya (biasa disebut M2, M3, dan seterusnya) diseleksi.
Pemuliaan mutasi sejak akhir abad ke-20 telah dilakukan pula dengan melakukan mutasi pada jaringan yang dibudidayakan (kultur jaringan) atau dengan bantuan teknik TILLING. TILLING membantu mutasi secara lebih terarah sehingga hasilnya lebih dapat diramalkan[25].
Hingga tahun 2006 telah dihasilkan lebih dari 2300 kultivar tanaman dengan mutasi, 566 di antaranya adalah tanaman hias[26]. Daftar kultivar dengan pemuliaan mutasi dapat diakses pada http://www-mvd.iaea.org.
Manipulasi gen dan ekspresinya
Metode-metode yang melibatkan penerapan genetika molekular masuk dalam kelompok ini, seperti teknologi antisense, peredaman gen (termasuk interferensi RNA), rekayasa gen, dan overexpression. Meskipun teknik-teknik ini telah diketahui berhasil diterapkan dalam skala percobaan, belum ada kultivar komersial yang dirilis dengan cara-cara ini.
[sunting] Transfer gen
Alat biolistik untuk transfer gen.
Transfer gen sebagai alat untuk menghasilkan keragaman genetik tanaman mulai dikembangkan sejak 1980-an, setelah orang menemukan enzim endonuklease restriksi dan mengetahui cara menyisipkan fragmen DNA organisme asing ke dalam kromosom penerima, dan diciptakannya alat sekuensing DNA. Teknik transfer gen juga memerlukan keterampilan dalam budidaya jaringan untuk mendukung proses ini. Karena memerlukan biaya sangat tinggi, hanya industri agrokimia yang sanggup menggunakan metode ini. Akibat dari hal ini berkembanglah isu "penguasaan gen" sebagai isu politik baru karena gen-gen "buatan" dan kultivar yang dihasilkan dikuasai oleh segelintir perusahaan multinasional besar.
Dalam transfer gen, fragmen DNA dari organisme lain (baik mikroba, hewan, atau tanaman), atau dapat pula gen sintetik, disisipkan ke dalam tanaman penerima dengan harapan gen "baru" ini akan terekspresi dan meningkatkan keunggulan tanaman tersebut. Strategi pemuliaan ini banyak mendapat penentangan dari kelompok-kelompok lingkungan karena kultivar yang dihasilkan dianggap membahayakan lingkungan jika dibudidayakan.
Penyisipan gen dilakukan melalui berbagai cara: transformasi dengan perantara bakteri penyebab puru tajuk Agrobacterium (terutama untuk tanaman non-monokotil), elektroporasi terhadap membran sel, biobalistik (penembakan partikel), dan transformasi dengan perantara virus.

Identifikasi dan seleksi terhadap bahan pemuliaan

Penyaringan adalah salah satu cara mengidentifikasi sifat yang dimiliki bahan pemuliaan. Galur di sebelah kanan rentan terhadap kegaraman tinggi, sedangkan di sebelah kiri toleran.
Bahan atau materi pemuliaan dengan keanekaragaman yang luas selanjutnya perlu diidentifikasi sifat-sifat khas yang dibawanya, diseleksi berdasarkan hasil identifikasi sesuai dengan tujuan program pemuliaan, dan dievaluasi kestabilan sifatnya sebelum dinyatakan layak dilepas kepada publik. Dalam proses ini penguasaan berbagai metode percobaan, metode seleksi, dan juga "naluri" oleh seorang pemulia sangat diperlukan.
 Identifikasi keunggulan
Usaha perluasan keanekaragaman akan menghasilkan banyak bahan yang harus diidentifikasi. Pertimbangan sumber daya menjadi faktor pembatas dalam menguji banyak bahan pemuliaan. Di masa lalu identifikasi dilakukan dengan pengamatan yang mengandalkan naluri seorang pemulia dalam memilih beberapa individu unggulan. Program pemuliaan modern mengandalkan rancangan percobaan yang diusahakan seekonomis tetapi seakurat mungkin. Percobaan dapat dilakukan di laboratorium untuk pengujian genotipe/penanda genetik atau biokimia, di rumah kaca untuk penyaringan ketahanan terhadap hama atau penyakit, atau lingkungan di bawah optimal, serta di lapangan terbuka. Tahap identifikasi dapat dilakukan terpisah maupun terintegrasi dengan tahap seleksi.
 Seleksi
Banyak metode seleksi yang dapat diterapkan, penggunaan masing-masing ditentukan oleh berbagai hal, seperti moda reproduksi (klonal, berpenyerbukan sendiri, atau silang), heritabilitas sifat yang menjadi target pemuliaan, serta ketersediaan biaya dan fasilitas, serta jenis kultivar yang akan dibuat.
Tanaman yang dapat diperbanyak secara klonal merupakan tanaman yang relatif mudah proses seleksinya. Keturunan pertama hasil persilangan dapat langsung diseleksi dan dipilih yang menunjukkan sifa-sifat terbaik sesuai yang diinginkan.
Seleksi massa dan seleksi galur murni dapat diterapkan terhadap tanaman dengan semua moda reproduksi. Hasil persilangan tanaman berpenyerbukan sendiri yang tidak menunjukkan depresi silang-dalam seperti padi dan gandum dapat pula diseleksi secara curah (bulk). Teknik modifikasi seleksi galur murni yang sekarang banyak dipakai adalah keturunan biji tunggal (single seed descent, SSD) karena dapat menghemat tempat dan tenaga kerja.
Terhadap tanaman berpenyerbukan silang atau mudah bersilang, seleksi berbasis nilai pemuliaan (breeding value) dianggap yang paling efektif. Berbagai metode, seperti seleksi "tongkol-ke-baris" (beserta modifikasinya), seleksi saudara tiri, seleksi saudara kandung, dan seleksi saudara kandung timbal-balik (reciprocal selection), diterapkan apabila tanaman memenuhi syarat perbanyakan seperti ini. Metode seleksi timbal-balik yang berulang (recurrent reciprocal selection) adalah program seleksi jangka panjang yang banyak diterapkan perusahaan-perusahaan besar benih untuk memperbaiki lungkang gen (gene pool) yang mereka miliki. Dua atau lebih lungkang gen perlu dimiliki dalam suatu program pembuatan varietas hibrida.
Penggunaan penanda genetik sangat membantu dalam mempercepat proses seleksi. Apabila dalam pemuliaan konvensional seleksi dilakukan berdasarkan pengamatan langsung terhadap sifat yang diamati, aplikasi pemuliaan tanaman dengan penanda (genetik) dilakukan dengan melihat hubungan antara alel penanda dan sifat yang diamati. Agar supaya teknik ini dapat dilakukan, hubungan antara alel/genotipe penanda dengan sifat yang diamati harus ditegakkan terlebih dahulu.
Evaluasi (pengujian)
Bahan-bahan pemuliaan yang telah terpilih harus dievaluasi atau diuji terlebih dahulu dalam kondisi lapangan karena proses seleksi pada umumnya dilakukan pada lingkungan terbatas dan dengan ukuran populasi kecil. Evaluasi dilakukan untuk melihat apakah keunggulan yang ditunjukkan sewaktu seleksi juga dipertahankan dalam kondisi lahan pertanian terbuka dan dalam populasi besar. Selain itu, bahan pemuliaan terpilih juga akan dibandingkan dengan kultivar yang sudah lebih dahulu dirilis. Calon kultivar yang tidak mampu mengungguli kultivar yang sudah lebih dahulu dirilis akan dicoret dalam proses ini. Apabila bahan pemuliaan lolos tahap evaluasi, ia akan dipersiapkan untuk dirilis sebagai kultivar baru.
Dalam praktik, biasanya ada tiga jenis evaluasi atau pengujian yang diterapkan sebelum suatu kultivar dilepas, yaitu uji pendahuluan (melibatkan 20-50 bahan pemuliaan terseleksi), uji daya hasil pendahuluan (maksimum 20), dan uji multilingkungan/multilokasi (atau uji daya hasil lanjutan, biasanya kurang dari 10). Semakin lanjut tahap pengujian, ukuran plot percobaan semakin besar. Setiap negara memiliki aturan tersendiri mengenai bakuan untuk masing-masing jenis pengujian dan jenis tanaman.
Calon kultivar yang akan dirilis/dilepas ke publik diajukan kepada badan pencatat (registrasi) perbenihan untuk disetujui pelepasannya setelah pihak yang akan merilis memberi informasi mengenai ketersediaan benih yang akan diperdagangkan.
Perbenihan
Benih kultivar unggul yang dirilis dikuasai oleh pemulia yang merakitnya dan hak ini dinamakan "perlindungan varietas" atau "hak pemulia" (breeder's right). Benih di tangan pemulia disebut benih pemulia ("breeder seed") dan terbatas jumlahnya. Benih pemulia tersedia hanya terbatas dan perbanyakannya sepenuhnya dikontrol oleh pemulia.

Kritik atas program pemuliaan tanaman

Lihat pula artikel Tanaman transgenik
Pemuliaan tanaman masih menjadi salah satu tumpuan dalam usaha penyediaan pangan dunia[27]; meskipun demikian, sejumlah isu dan keprihatinan telah dilemparkan terhadap program pemuliaan tanaman.

Penyempitan keanekaragaman genetik

Penyempitan keanekaragaman genetik merupakan isu mendasar yang telah disuarakan dan disadari sejak awal pemuliaan tanaman modern. Akibat fokus pada peningkatan produksi dan mutu hasil, sebagian kecil variasi genetik mendominasi pertanaman. Seleksi yang dilakukan dalam program pemuliaan tanaman mengakibatkan sempitnya keragaman genetik tanaman yang dibudidayakan. Keadaan diperparah dengan sedikitnya pilihan kultivar yang ditanam petani karena tuntutan konsumen akan keseragaman produk. Tanaman menjadi mudah terserang hama dan penyakit, karena organisme pengganggu lebih tinggi plasitisitas fenotipiknya daripada tanaman budidaya. Beberapa wabah besar telah terjadi akibat hal ini, seperti hawar kentang, hawar jagung, dan tungro pada padi (lewat perantara wereng coklat). Suatu kajian terhadap kandungan gizi sejumlah kultivar tanaman sayuran kebun dari tahun 1950 sampai 1999 menunjukkan efek kompensasi penurunan sejumlah kandungan gizi akibat fokus diberikan kepada hasil, termasuk 6% protein dan 38% riboflavin (vitamin B2)[28]. Sempitnya latar belakang genetik juga akan menyebabkan stagnasi dalam program pemuliaan. Untuk mengatasi hal ini, program pemuliaan modern memasukkan persilangan dengan kerabat jauh atau bahkan spesies yang berbeda untuk memperluas variabilitas. Selain itu, persyaratan kestabilan penampilan untuk sejumlah spesies tanaman diperlunak sehingga kultivar yang bersifat spesifik lokasi juga dapat disetujui untuk dirilis.

Penguasaan plasma nutfah

Kebanyakan kultivar tanaman masa kini dihasilkan oleh sebagian kecil perusahaan benih, beberapa di antaranya bermodal kuat, transnasional, dan menguasai teknologi tinggi. Masyarakat adat, yang sebelum terjadi industrialisasi pertanian menguasai benih berangsur-angsur terdesak perannya dan petani lambat-laun tergantung pada pasokan benih dari industri benih. Hal ini dipandang tidak adil oleh anggota gerakan anti-globalisasi. Keadaan ini sedikit banyak merupakan akibat dari Revolusi Hijau, yang berfokus pada peningkatan hasil, dan pemberlakuan prinsip Perlindungan Varietas Tanaman (Hak Cipta Pemulia Tanaman).
Salah satu pemecahan yang ditawarkan adalah menggunakan konsep pemuliaan tanaman partisipatif (participatory plant breeding). Melalui cara ini, plasma nutfah tetap dikuasai oleh masyarakat pemilik plasma nutfah, tetapi industri benih juga mendapat keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik ini.



Minggu, 22 Mei 2011

Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa, dan Sulawesi

Pemerian botani

Kelapa sawit berbentuk pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi.
Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa.
Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar.
Tanaman sawit dengan tipe cangkang pisifera bersifat female steril sehingga sangat jarang menghasilkan tandan buah dan dalam produksi benih unggul digunakan sebagai tetua jantan.
Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya.
Buah terdiri dari tiga lapisan:
  • Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin.
  • Mesoskarp, serabut buah
  • Endoskarp, cangkang pelindung inti
Inti sawit (kernel, yang sebetul]]nya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi.
Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula).

Syarat hidup

Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan memengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.

Tipe kelapa sawit

Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis: E. guineensis dan E. oleifera. Jenis pertama yang terluas dibudidayakan orang. dari kedua species kelapa sawit ini memiliki keunggulan masing-masing. E. guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan E. oleifera memiliki tinggi tanaman yang rendah. banyak orang sedang menyilangkan kedua species ini untuk mendapatkan species yang tinggi produksi dan gampang dipanen. E. oleifera sekarang mulai dibudidayakan pula untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik.
Penangkar seringkali melihat tipe kelapa sawit berdasarkan ketebalan cangkang, yang terdiri dari
  • Dura,
  • Pisifera, dan
  • Tenera.
Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak per tandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang, sehingga tidak memiliki inti (kernel) yang menghasilkan minyak ekonomis dan bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki persentase daging per buahnya mencapai 90% dan kandungan minyak per tandannya dapat mencapai 28%.
Untuk pembibitan massal, sekarang digunakan teknik kultur jaringan.

Hasil tanaman

Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik.[1]
Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin.
Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil inti sawit itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.
Buah diproses dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90 °C. Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur.
Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos.

Sejarah perkebunan kelapa sawit

Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura".
Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1911.
Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940.[2]
Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (lalu Malaysia).
Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.
Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor hingga sekarang masih hidup, dengan ketinggian sekitar 12m, dan merupakan kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More